Indonesia
sebagai negara agraris dengan kekayaan sumberdaya alam pertanian dan lahan yang
subur, kemudian bentuk geografis negara kepulauan yang membentang telah
menjadikan Indonesia sebagai negara maritim. Namun, keadaan demikian tidak
begitu saja menjadikan Indonesia sebagai negara yang makmur dan sejahtera
dengan kekayaan alam, pada faktanya jumlah penduduk yang menempati posisi keempat
di dunia di mana pada tahun 2011mencapai 241 juta jiwa orang hidup di bawah
bendera merah putih masih menjadikan kebijakan impor sebagai bagian dari
pemenuhan kebutuhan pokok.
Mengapa
bisa demikian?
Pada
tahun 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 241 juta jiwa dengan laju pertumbuhan
penduduk 1,49 % per tahun, dan jumlah petani sebesar 39,33 juta jiwa (33,51%
dari total angkatan kerja nasional). Sekitar 13,7 juta petani gurem yang hanya
memiliki lahan 0,25 ha, 19 juta penduduk miskin tinggal di perdesaan dan
sebagian besar petani. Karena itu, Indonesia selama ini masih mengimpor gandum
dan terigu sebanyak 100%, 90% bawang putih, 70% susu, 36% daging sapi, 100%
bibit ayam ras, 65% kedelai, 40% gula, 10% jagung, dan 70% garam. Selain itu, kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB semakin turun dari tahun ke tahun.
Praktik
alih lahan
Praktik
alih fungsi lahan yang tadinya hutan untuk kemudian di konversi menjadi lahan
pertanian, perkebunan, dan pembangunan telah mengindikasikan usaha untuk maju
dari penduduk dan pemerintah. Yang menjadi persoalana adalah, apakah kebijakan
tersebut sudah sesuai dengan rencana pemerintah dalam pembangunan nasional?

Kemudian,
ketimpangan penguasaan aset tanah dan perampasan tanah di mana luas areal perkebunan
19,53 juta ha dengan perkebunan rakyat 74%, PBN 6%, PBSN 20 %[1].
Penurunan luas lahan sawah, rata-rata 0,35 ha/ KK telah menjadikan peningkatan
terhadap jumlah petani gurem dan tuna tanah, sistem irigasi dan kurangnya
penguasaan dan peruntukkan penggunaan sumberdaya air untuk pertanian
dilanjutakan oleh alih fungsi lahan turunan atau konversi derivatif lahan
pertanian untuk pemukiman, infranstruktur, fasum, fasos dan kegiatan ekonomi
lainnya yang pada tiap tahunnya mencapai 100 ribu – 200 ribu ha menjadi masalah
agraria dalam pertanian.
Secara
umum, luas daratan Indonesia 188 juta ha dengan komposisi penggunaaan kawasan
sebagai berikut: kehutanan (penguasaan kawasan hutan seluas 130 juta ha),
pertanian (kebutuhan lahan basah dan kering sekitar 35 juta ha, saat ini baru
14,2 juta ha, termasuk sawah 7,8 juta ha), perkebunan, pertambangan,
transmigrasi, industri dan perumahan, serta kebutuhan lainnya. Kemudian, dari
188 juta ha daratan tersebut, 94,1 juta (50%) lahan potensial/ cocok untuk
pertanian dengan 25,4 juta ha cocok untuk dijadikan sawah dan pada praktiknya
7,8 juta ha sebagai eksisting luas baku tanah sementara 17.6 ha juta tanah
masih menjadi cadangan lahan sawah. Untuk sebagian lainnya, yakni 93,9 juta ha
(50%) lahan merupakan lahan tidak potensial/ tidak cocok untuk lahan pertanian[2].
Apa
saja faktor penyebab alih fungsi lahan tersebut?
Beberapa
hal yang menjadi faktor dan memicu alih fugnsi lahan tersebut, adalah sebagai
berikut:
1. Pertumbuhan
penduduk dan peningkatan kebutuhan infrastruktur;
2. Degradasi
kualitas lingkungan hidup, kerusakan hutan di hulu, kerusakan tanah, kerusakan
irigasi;
3. Praktik
tata-ruang masih urban-bias;
4. Inkosistensi
aparat daerah dalam mencegah alih fungsi lahan, banyak daerah yang masih belum
memilki dan melaksanakan perda terkait alih fungsi lahan.
Perbandingan
luas lahan pangan perkapita
Pada
umumnya, negara-negara pertanian di dunia memiliki ketersediaannya terhadap
lahan pertanian perkapita di atas 1.000 m2. Bila dibandingkan dengan
Brazil, China, dan India, Indonesia luas lahan perkapita Inodensia masih jauh
dari ketiga negara tersebut. Brazil memiliki luas lahan pertanian 59 juta ha,
China dengan 144 juta ha, India dengan 162 juta ha, sementara Indonesia 7,8 ha.
Luas lahan perkapita di tiga negara tersebut adalah 3.426 m2 bagi
Brazil, 1.120 m2 bagi China, dan 1.291 m2, sedangkan
Indonesia hanya 354 m2.
Rata-rata
luas lahan basah di Indonesia adalah 354 m2 dan jika dimasukkan ke
dalam lahan pertanian kering maka 646 m2. Padahal, pada situasi
ideal, luas lahan sawah adalah 15 juta ha dan lahan kering 20 juta ha dan bila
dijumlahkan menjadi 35 juta ha di mana bila di rasiokan menjadi 1.591 m2
perkapita samadengan sepertiga India.
Langkah
strategis dalam upaya optimalisasi konversi lahan
Sebagai
langkah awal dalam mewujudkan pembangunan nasional melalui optimalisasi
konversi lahan dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sangat diperlukan integrasi
dari pemerintah dan masyarakat. Dari pihak pemerintah sendiri telah disahkannya
UU No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian pangan
Berkelanjutan dan melaksanakan peraturan
pemerintahnya dengan konsisten. Meminta daerah untuk segera melakukan penetapan
lahan pertanian pangan dan segera menyelesaikan rencana tata ruang dan wilayah.
Terbuka peluang untuk mengembangkan prinsip-prinsip jasa lingkungan hidup,
seperti karakter multifungsi pertanian (multi-functionality of agriculture),
lahan sawah beririgasi teknis dan lahan pertanian pangan lainnya dapat menjadi
pusat cagar budaya (land haritage) yang mampu mendorong dampak ganda
kegiatan ekonomi.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment