Sunday, October 14, 2012

Konversi Lahan Yang Tak Terelakkan dan Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan (1)


Indonesia sebagai negara agraris dengan kekayaan sumberdaya alam pertanian dan lahan yang subur, kemudian bentuk geografis negara kepulauan yang membentang telah menjadikan Indonesia sebagai negara maritim. Namun, keadaan demikian tidak begitu saja menjadikan Indonesia sebagai negara yang makmur dan sejahtera dengan kekayaan alam, pada faktanya jumlah penduduk yang menempati posisi keempat di dunia di mana pada tahun 2011mencapai 241 juta jiwa orang hidup di bawah bendera merah putih masih menjadikan kebijakan impor sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pokok.

Mengapa bisa demikian?
Pada tahun 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 241 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49 % per tahun, dan jumlah petani sebesar 39,33 juta jiwa (33,51% dari total angkatan kerja nasional). Sekitar 13,7 juta petani gurem yang hanya memiliki lahan 0,25 ha, 19 juta penduduk miskin tinggal di perdesaan dan sebagian besar petani. Karena itu, Indonesia selama ini masih mengimpor gandum dan terigu sebanyak 100%, 90% bawang putih, 70% susu, 36% daging sapi, 100% bibit ayam ras, 65% kedelai, 40% gula, 10% jagung, dan 70% garam. Selain itu, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB semakin turun dari tahun ke tahun.

Praktik alih lahan
Praktik alih fungsi lahan yang tadinya hutan untuk kemudian di konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pembangunan telah mengindikasikan usaha untuk maju dari penduduk dan pemerintah. Yang menjadi persoalana adalah, apakah kebijakan tersebut sudah sesuai dengan rencana pemerintah dalam pembangunan nasional?

Luas lahan pertanian mencapai 7,8 juta ha dengan alih fungsi lahan pertanian mencapai 100 ribu – 120 ribu ha/ tahun. Kemudian, luas hutan Indonesia berkisar 130 juta ha dengan laju degradasi hutan 600 ribu hingga 800 ribu ha/ tahun. Melihat laju alih fungsi dan laju degradasi yang begitu besar, serta kasus konflik lahan oleh petani maupun masyarakat adat menjadi fokus perhatian bagi segenap lapisan masyarakat, terutama jajaran pemerintah dalam menyokong kebijakan pembangunan nasional.

Kemudian, ketimpangan penguasaan aset tanah dan perampasan tanah di mana luas areal perkebunan 19,53 juta ha dengan perkebunan rakyat 74%, PBN 6%, PBSN 20 %[1]. Penurunan luas lahan sawah, rata-rata 0,35 ha/ KK telah menjadikan peningkatan terhadap jumlah petani gurem dan tuna tanah, sistem irigasi dan kurangnya penguasaan dan peruntukkan penggunaan sumberdaya air untuk pertanian dilanjutakan oleh alih fungsi lahan turunan atau konversi derivatif lahan pertanian untuk pemukiman, infranstruktur, fasum, fasos dan kegiatan ekonomi lainnya yang pada tiap tahunnya mencapai 100 ribu – 200 ribu ha menjadi masalah agraria dalam pertanian.

Secara umum, luas daratan Indonesia 188 juta ha dengan komposisi penggunaaan kawasan sebagai berikut: kehutanan (penguasaan kawasan hutan seluas 130 juta ha), pertanian (kebutuhan lahan basah dan kering sekitar 35 juta ha, saat ini baru 14,2 juta ha, termasuk sawah 7,8 juta ha), perkebunan, pertambangan, transmigrasi, industri dan perumahan, serta kebutuhan lainnya. Kemudian, dari 188 juta ha daratan tersebut, 94,1 juta (50%) lahan potensial/ cocok untuk pertanian dengan 25,4 juta ha cocok untuk dijadikan sawah dan pada praktiknya 7,8 juta ha sebagai eksisting luas baku tanah sementara 17.6 ha juta tanah masih menjadi cadangan lahan sawah. Untuk sebagian lainnya, yakni 93,9 juta ha (50%) lahan merupakan lahan tidak potensial/ tidak cocok untuk lahan pertanian[2].

Apa saja faktor penyebab alih fungsi lahan tersebut?
Beberapa hal yang menjadi faktor dan memicu alih fugnsi lahan tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan infrastruktur;
2. Degradasi kualitas lingkungan hidup, kerusakan hutan di hulu, kerusakan tanah, kerusakan irigasi;
3. Praktik tata-ruang masih urban-bias;
4. Inkosistensi aparat daerah dalam mencegah alih fungsi lahan, banyak daerah yang masih belum memilki dan melaksanakan perda terkait alih fungsi lahan.

Perbandingan luas lahan pangan perkapita
Pada umumnya, negara-negara pertanian di dunia memiliki ketersediaannya terhadap lahan pertanian perkapita di atas 1.000 m2. Bila dibandingkan dengan Brazil, China, dan India, Indonesia luas lahan perkapita Inodensia masih jauh dari ketiga negara tersebut. Brazil memiliki luas lahan pertanian 59 juta ha, China dengan 144 juta ha, India dengan 162 juta ha, sementara Indonesia 7,8 ha. Luas lahan perkapita di tiga negara tersebut adalah 3.426 m2 bagi Brazil, 1.120 m2 bagi China, dan 1.291 m2, sedangkan Indonesia hanya 354 m2.

Rata-rata luas lahan basah di Indonesia adalah 354 m2 dan jika dimasukkan ke dalam lahan pertanian kering maka 646 m2. Padahal, pada situasi ideal, luas lahan sawah adalah 15 juta ha dan lahan kering 20 juta ha dan bila dijumlahkan menjadi 35 juta ha di mana bila di rasiokan menjadi 1.591 m2 perkapita samadengan sepertiga India.

Langkah strategis dalam upaya optimalisasi konversi lahan
Sebagai langkah awal dalam mewujudkan pembangunan nasional melalui optimalisasi konversi lahan dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sangat diperlukan integrasi dari pemerintah dan masyarakat. Dari pihak pemerintah sendiri telah disahkannya UU No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian pangan Berkelanjutan  dan melaksanakan peraturan pemerintahnya dengan konsisten. Meminta daerah untuk segera melakukan penetapan lahan pertanian pangan dan segera menyelesaikan rencana tata ruang dan wilayah. Terbuka peluang untuk mengembangkan prinsip-prinsip jasa lingkungan hidup, seperti karakter multifungsi pertanian (multi-functionality of agriculture), lahan sawah beririgasi teknis dan lahan pertanian pangan lainnya dapat menjadi pusat cagar budaya (land haritage) yang mampu mendorong dampak ganda kegiatan ekonomi.

Bersambung....



[1] Ditjenbun, 2012
[2] Kementan, 2012

No comments:

Post a Comment

Engkau yang di Seberang

Pesona senja merona jingga Indah dipandang mata Langkah berbuah sejarah Tujuan satukan arah Yang lekuk semakin menunduk Yang menunduk be...