Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia,karena dia bisa memilih untuk
menjadi "setan atau malaikat" (John Scheffer)
----------------------
Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki
itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.
Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di
keningnya. Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi
umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat
tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga
saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal
waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi,
seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak
saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan
remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat
peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela
rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri.
Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi
les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk. Jadi kalau lelaki yang
selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah
memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak
ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di
samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu
seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk
bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti
tadi. Tapi di zaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang
semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah? Saya masih
tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako.
Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa
maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada
jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai.
Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu
ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul. Tiba-tiba
anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung
saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya
untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah.
Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan
punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah.
Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi.
Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
* * *
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah
seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu,
Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir
jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan
mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya.
Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di
kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu,
mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang
tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila
bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang. Lama saya melihat
dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah,
yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang
morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah
itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah
dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan
surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak
lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:
--------------------------------------
"Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau
mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka
saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan
goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu
mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras. Saya
sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau
melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran,
saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya
ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan
saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap.
Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum
pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan
mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah
dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak
memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya
sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya? Saat
Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya
semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk
membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur
entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar
tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter.
Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya,
sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung
jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup,
saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi
saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang.
Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet. Dan begitu saya
melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke
kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya
pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika
mendapatkan uang 300 ribu lebih.

--------------------------------------
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya
mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat
puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman.
Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan,
tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya. Lelah mencari, di bawah
pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu.
Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi
pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan.
Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar
kota, saya tidak segembira biasanya. Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang
biasa saja. Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya
akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati
kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang
harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan
sebagainya. Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali.
Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi
saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan
siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar
Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para
pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan. Di
stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak
saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya. Yuni
menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama." Dan
saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya
Dikutip dari: Bunga Rampai Seri 12
No comments:
Post a Comment