Monday, December 3, 2012

OPTIMALISASI MODEL HUBUNGAN BAZNAS DENGAN LAZ DALAM UPAYA REALISASI SENTRALISASI ZAKAT REFELKSI UU NOMOR 23 TAHUN 2011



In September 2011, the Government of the Republic of Indonesia passed UU No. 23 tahun 2011 neighbor centralized management of zakat. This is based on the reality of management of charity that still have not been well integrated in the collection, distribution, and reporting so impressed the amil zakat institutions to one another is still running on their own. Passing of the Law No. 23 Year 2011 marked a new era ties between Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) with the Lembaga Amil Zakat (LAZ). The concept of centralization and coordination, between BAZNAS and LAZ not without its challenges, the pros and cons of Law Act. It is interesting to study the relationship so that the model will achieve a better Indonesia through zakat primarily for the purpose of poverty alleviation. This paper uses qualitative descriptive analysis method informant interviews with experts to determine the model of the ideal relationship between institutions.
This paper aims to discuss the state of the management of zakat in Indonesia during the pre and post adoption Zakat Management Act UU No. 23 tahun 2011 and the alternative models the position of the institutions concerned. The discussion includes a model of the relationship between institutions, so that the management system is a national charity can be done anamah, transparent, and professional.

Keyword         : UU No. 23 tahun 2011, Model of Relationship, Centralization, Zakat
JEL                  : A13, D63, E69, H11




I PENDAHULUAN

I.a Latar Belakang

Islam sebagai pandangan hidup (way of life) mempunyai ajaran yang menjamin keselamatan dunia akhirat, bahkan eksistensinya diperadaban manusia sebagai rahmatan lil’alamin. Hal ini termanifestasi dalam berbagai bidang kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan sebagainya. Oleh karena itu, penerjemahan ajaran Islam akan terus berkembang sesuai dengan percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dalam tataran ini pemberdayaan dalam berbagai bidang tersebut mutlak sangat diperlukan[2].
Zakat merupakan salah satu rukun Islam memiliki makna strategis dalam kehidupan sosial umat. Menunaikan zakat selain sebagai implementasi kewajiban seorang muslim, juga merupakan wujud solidaritas sosial terhadap sesama. Dalam kehidupan keseharian, kita dihadapkan pada realitas sosial ekonomi umat yang masih memerlukan perhatian dan solusi.
Konsepsi pemberdayaan ekonomi umat melalui pengamalan ibadah zakat yang diajarkan dalam Islam merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh dalam mengatasi masalah sosial dimaksud. Potensi zakat yang cukup signifikan tersebut perlu digali secara optimal agar dapat digunakan untuk ikut menggerakkan perekonomian umat disamping potensi-potensi yang lain sehingga taraf hidup umat menjadi terangkat.
Namun yang menjadi masalah selama ini antara lain adalah masalah pengelolaan zakat yang belum dilakukan secara professional sehingga pengumpulan dan penyaluran zakat menjadi kurang terarah disamping masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap permasalahan zakat terutama masalah yang aktual dan kontemporer.
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 muncul dalam semangat agar lembaga pengelola zakat tampil dengan professional, amanah dan mandiri. Masih rendahnya kepercayaan terutama para muzakki terhadap para amil zakat juga menjadi salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian. Selain itu kesadaran umat untuk berzakat, berinfaq dan bershadaqah juga masih harus ditumbuhkan.
Hingga saat ini, pengelolaan zakat di Indonesia masih jauh dari optimal terutama apabila kita membandingkan antara besarnya dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh para lembaga pengelola zakat dan potensi zakat yang sesungguhnya. Beragam faktor dapat dikemukakan sebagai penyebabnya, antara lain minimnya kesadaran muzakki untuk berzakat dan rendahnya kepercayaan terhadap organisasi pengelola zakat yang ada. Selain itu, pemerintah yang diharapkan menjadi tulang punggung utama pengelolaan zakat sebagaimana dititahkan oleh syariat belum menunjukkan peran optimalnya.
Meskipun demikian, seiring dengan mencairnya ketegangan ideologis antara negara dan umat Islam, perhatian pemerintah terhadap pengelolaan zakat secara bertahap ternyata menunjukkan peningkatan dan perbaikan dari waktu ke waktu[3].
Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat merupakan langkah perbaikan dari Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999. Kehadiran undang-undang baru ini mengundang pro dan kontra menyangkaut sentralisasi pengelolaan zakat oleh Baznas, sehingga perlu diteliti bagaimana posisi Baz dan Laz dalam sebuah model hubungan yang ideal guna menciptakan pengelolaan zakat yang transparan, akuntanbel, amanah dan mampu mensejahterkan masyarakat luas dengan distribusi yang adil dan merata.

I.b Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari karya ilmiah ini adalah Bagaimana Optimalisasi Model Hubungan BAZ dengan LAZ dalam Upaya Realisasi Sentralisasi Zakat Sebagai Refleksi UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat?

I.c Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui Model Hubungan BAZ dengan LAZ dalam Upaya Realisasi Sentralisasi Zakat Sebgai Refleksi UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang ideal dan berkesinambungan.

II LANDASAN TEORI

II.a Zakat

Dalam bukunya, Zakat dalam Perekonomian Modern (2002) dan Anda Bertanya tentang Zakat, Infak, dan Sedekah Kami Menjawab (2005), Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. menjelaskan bahwa ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu ‘keberkahan’, al-namaa ‘pertumbuhan dan berkembang’, ath-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shalahu ‘keberesan’[4]. Sedangkan secara istilah, meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula[5].
Orang yang wajib membayar zakat adalah muzakki sedangakan yang berhak untuk menerima dana zakat adalah mustahik yang terbagi kedalam delapan golongan, yaitu: fakir, miskin, ‘amil, muallaf, budak belian, orang yang terbebani hutang, di jalan Allah (fi sabilillah) dan pengembara (ibnu sabil)[6].

II.b Lembaga Amil Zakat di Indonesia

Dasar hukum berdirinya lembaga pengelola zakat di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, Keputusan Menteri agama Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999, dan keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/ 291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat serta selanjutnya Undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang Sentralisasi Zakat. Sedangkan dasar hukum lain yang memiliki kaitan erat dengan zakat adalah Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang in menjelaskan bahwa zakat merupakan pengurang Penghasilan Karena Pajak (PKP).
Pengelolaan zakata sebagaimna tertuang dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 38 tahun 1999, didefinisikan sebagai kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Organisasi pengelola zakat yang diakui pemerintah terdiri atas dua lembaga, yaitu Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat.
Badan Amil Zakat (BAZ) adalah lembaga yang dibentuk pemerintah yang bertugas untuk mengelola zakat, sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat dan mendapatkan pengakuan dari pemerintah. BAZ dan LAZ mendapat tugas untuk mengeluarkan surat Bukti Setor Zakat (BSZ) yang dapat digunakan untuk mengurangkan Penghasilan Kena Pajak (PKP) saat membayar pajak di Kantor Pelayanan Pajak.
BAZ memiliki struktur dari pusat hingga kecamatan. BAZ di tingkat pusat di sebut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). BAZNAS berdiri berdasarkan surat keputusan presiden Republik Indonesia nomor 8 tahun 2001 tanggal 17 Januari 2001. Sedangkan BAZ di tingkat provinsi dikenal dengan sebutan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA), BAZDA Tk I/ BAZDA Provinsi untuk tingkat provinsi dan BAZDA Tk II/ BAZDA Kota untuk tingkat kabupaten atau kotamadya.
Meskipun BAZ dibentuk oleh pemerintah, namun proses pembentukannya sampai kepengurusannya harus melibatkan unsur masyarakat. Dengan demikian, masyarakat luas dapat menjadi pengelola BAZ sepanjang kualifikasinya memenuhi syarat sebagimana tertuang dalam ayat 6  Undang-undang No. 38 tahun 1999.
Lembaga Amil Zakat (LAZ) merupakan lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat sehingga tidak memiliki afiliasi dengan BAZ. BAZ dan LAZ masing-masing berdiri sendiri dalam pengelolaan zakat.

II.c Konsep Pengelolaan Zakat dan Manajemen Zakat di Indonesia

Zakat merupakan ibadah yang berdimensi ganda, baik vertikal maupun horizontal. Dikatakan demikian, karena zakat di samping bersifat ta’abuddi (merupakan ibadah kepada Allah SWT), juga bersifat ijtima’iyah (sosial masyarakat). Oleh karena itu, maka pelaksanaannya harus dilakukan dengan cara memperhatikan dan mempertimbangkan kedua dimensi tersebut. Pada prinsipnya, dibenarkan oleh syariat Islam apabla seseorang yang berzakat langsung memberikan sendiri zakatnya kepada para mustahiq dengan syarat kriteria mustahiq sejalan dengan firman Allah Ta’ala dalam surat at Taubah: 60. Akan tetapi, sejalan denga firman Allah tersebut dan juga berdasarkan tuntunan Nabi Muhtammad saw, tentu akan lebih utama jika zakat itu disalurkan lewat amil zakat yang amanah, bertanggungjawab, dan terpercaya. Ini dimaksudkan agar distribusi zakat tersebut tepat sasaran sekaligus menghindari penumpukan zakat pada mustahiq tertentu sementara mustahiq yang lainnya tidak mendapatkan haknya.
Disamping itu, terdapat mustahiq yang berani terang-terangan meminta dan ada pula mustahiq yang merasa berat (malu) untuk meminta. Dengan demikian, dimungkinkan zakat hanya diberikan kepada mereka yang berani, sementara kurang memperhatikan terhadap mereka yang malu.
Oleh karena itu, maka ahli fiqh (fuqaha) menekankan tanggungjawab pemerintah dalam pengumpulan zakat dengan cara yang benar, menyalurkanya dengan cara yang benar pula, dan menghalanginya dari hal-hal yang bathil. Allah Ta’ala berfirman dalam surat al Hajj: 41,
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh pada berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para khalifah setelah beliau. Apabila pemerintah tidak memainkan perannya dalam mengurus zakat, maka boleh didirikan badan, institusi, lembaga, asosiasi, atau panitia yang melaksanakan tanggungjawab ini, namun semuanya itu harus berada di bawah pengawasan pemerintah. Badan-badan semacam ini lebih mampu, jika dibandingkan dengan individu-individu, dalam mengembangkan sumber-sumber zakat dan menyalurkannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya secara syar’i.
Pengelolaan zakat di Indonesia memiliki beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut[7]:
1.      Sebelum kelahiran UU Nomor 38 tahun 1999 tentan gpengelolaan zakat
a.       Pengelolaan zakat di masa penjajahan
b.      Pengelolaan zakat di awal kemerdekaan
c.       Pengelolaan zakat di masa orde baru
d.      Pengelolaan zakat di era reformasi
2.      Pasca kelahiran UU Nomor 38 tahun 1999
3.      Kelahiran UU Nomor 23 tahun 2011

II.d Penelitian Terdahulu

1.      M. Sularno[8]
Dalam  penelitian yang dilakukan oleh M. Sularno mengenai Pengelolaan Zakat Oleh Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/ Kota Se Daerah Istimewa Yogyakarta: Studi Terhadap Implementasi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat didapati hasil sebagai berikut :
Implementasi Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang dilakukan oleh pengurus BAZDA Kabupaten/Kota se Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kontek pengorganisasian, pengumpulan dan pendistribusian zakat adalah sebagai berikut :
a.       Pengorganisasian
Dalam hal pengorganisasian, secara umum struktur kepengurusan  BAZDA  di masing-masing Kabupaten/Kota se DIY telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Meski demikian, terdapat BAZDA yang belum memiliki Unit Pengumpul Zakat, hal ini menunjukkan adanya amanah Undang-Undang yang belum terimplementasi dengan sempurna.
b.      Pengumpulan zakat
BAZDA kabupaten / kota di DIY dalam hal pengumpulan zakat memiliki dua alternatif, yaitu secara aktif mendatangi para muzakki untuk mengambil zakat dan pasif menunggu para muzakki datang memberikan zakat. Secara umum, prioritas muzakki yang menjadi sasaran BAZDA baru pada  Pegawai Negeri Sipil, sementara masyarakat lainnya belum mendapat perhatian serius.  Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa dalam hal pengumpulan, belum mengimplementasikan aturan dan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dengan baik.
c.       Pendistribusian zakat
Dalam hal pendistribusian zakat, dari data dan pembahasan, diketahui  bahwa penyaluran dana zakat yang terkumpul telah diarahkan kepada delapan kelompok dengan prosentasi yang beragam, namun disesuaikan pada kondisi obyektif di masing-masing daerah, didahului dengan rapat pengurus. meskipun belum memadai dan berlanjut, sudah ada usaha terbatas dari BAZDA untuk melakukan pembinaan dan pendampingan bagi para mustahiq agar bersifat produktif harta zakat yang diterimanya. Untuk mempertanggung jawabkan kewajibannya kepada stakeholder, setiap BAZDA  telah melakukan audit secara internal dan penyampaian laporan hasil kerja  dalam bentuk pamflet maupun buku. Maka, dalam hal pendistribusian dapat disimpulkan bahwa implementasi yang dilakukan oleh BAZDA Kabupaten/Kota se-Daerah Istimewa Yogyakarta cukup sesuai  dengan amanah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999. Terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh pengurus BAZDA kabupaten / kota di DIY dalam melaksanakan program-programnya, yang secara umum dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu :
a.       Ditinjau dari asal kendala, terdapat dua kendala, yakni internal dan eksternal. Kendala internal meliputi masih belum adanya manajemen profesional dalam pengelolaan BAZDA, belum adanya honorarium yang definitif bagi para pengurus, masih banyaknya anggota pengurus yang menjadikan pekerjaannya di BAZDA hanya sebagai pekerjaan sampingan dan belum adanya kantor yang representatif. Sementara kendala eksternal meliputi tidak adanya kesadaran yang penuh dari para muzakki untuk menyerahkan zakatnya pada BAZDA dan lebih senang menyalurkannya secara langsung kepada mustahiq, belum adanya regulasi, utamanya berupa Peraturan Daerah tentang Zakat, dan masih adanya pungutan zakat secara internal di instansi pemerintah.
b.      Dari spesifikasi kinerja, bidang organisasi mengalami kendala dalam manajemen operasional, akibat kesibukan dan kurangnya sikap profisonalitas para pengurus. Begitu juga proses penyegaran di tubuh pengurus BAZDA yang tidak berjalan baik. Di bidang pengumpulan, sasaran muzakki yang belum tergarap sempurna dan adanya lembaga exofficio sebagai UnitPengumpul Zakat di instansi-instansi pemerintah maupun swasta juga menjadi kendala dalam proses pengumpulan. Sementara pada bidang distribusi, kendala yang dihadapi terutama adalah belum terdatanya dengan baik para mustahik sehingga zakat yang diberikan belum dapat didayagunakan secara optimal, terutama pendayagunaan zakat secara produktif.
2.      Heru Susetyo[9]
Heru Susetyo dalam penelitian terhadap Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara Tetangga memperoleh hasil bahwa, secara legal dan konstitusional negara Indonesia tidak memiliki kewenangan secara mutlak untuk mengelola zakat. Konstitusi UUD 1945 dan berbagai macam perundang-undangan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa negara adalah satu-satunya penyelenggara zakat.
Secara praktek kesejahteraan sosial yang dilakukan negara RI selama ini, tidak juga menunjukkan bahwa negara RI adalah egara kesejahteraan (welfare state) yang telah melaksanakan kewajibannya secara penuh untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya apakah dengan pendekatan institusional ataupun developmental.
Yang terjadi selama ini adalah ketidakjelasan dan tarik ulur kebijakan dan implementasi kesejahteraan sosial. Maka, ketika ada amandemen UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat yang meletakkan negara sebagai satu-satunya institusi yang berwenang mengelola zakat, maka sungguh tidak jelas apa pijakan filosofis, yuridis, maupun sosiologisnya.
Satu-satunya pijakan sentralisasi pengelolaan zakat pada negara adalah praktik yang dicontohkan Rasulullah saw dan para khalifah yang mengumpulkan dan mengelola zakat dalam kapasitas sebagai penguasa. Namun, hal itipun tak dapat dijadikan pijakan utama, karena ada khilafah seperti Utsman bin Affan yang mengelola zakat secara partisipatif. Antara lain dengan memberikan peluang pendistribusian zakat oleh para muzakki langsung kepada para mustahiknya.
Tambahan lagi, Indonesia bukanlah negara Islam dan tidak berkonstitusi Islam kendati pemimpinnya mayoritas Islam, maka sentralisasi zakat oleh negara tidak otomatis dapat dilakukan.
Jalan tengah yang baik, menurut penulis, adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Edi Suharto, bahwa dalam konteks kebijakan sosial yang berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi paradoksal melainkan dua posisi yang bersinergi. Benar, bahwa peran negara dalam pelayanan sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum neoliberalisme pemuja pasar bebas dan bahwasanya negara adalah pengemban kewajiban utama dalam pelayanan sosial, namun rakyat juga harus diberi ruang untuk turut berpartisipasi dalam pelayanan sosial, apalagi ketika terbukti megara tidak mampu mengemban peran dan kewajiban tersebut. Terkait dengan pengelolaan zakat, model pelayanan zakat ala singapura dan Malaysia yang menyuguhkan kolaborasi yang cukup baik antara negara dan masyarakat dapat mendaji salah satu rujukan.
3.      Moch. Arif Budiman[10]
Moch. Arif Budiman dalam tulisannya Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelola Zakat di Indonesia Perspektif Legalisasi menyimpulkan bahwa, secara bertahap kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan zakat di tanah air menunjukkan perbaikan, yaitu dari fase apatisme, formalisme menuju akomodasionisme. Perubahan sikap pemerintah dari „merintangi‟ menuju „mendukung‟ pengelolaan zakat tentunya tidak terjadi begitu saja, melainkan berkat perjuangan keras dan terusmenerus dari umat Islam sendiri.
Bentuk kelembagaan pengelola zakat juga telah menjadi semakin baik. Jika pada awalnya lembaga pengelola zakat ditetapkan hanya di tingkat lokal, kini sudah ke tingkat nasional. Saat ini zakat sudah menjadi salah satu pranata kenegaraan. Lahirnya UUPZ Tahun 1999 menandai perkembangan strategis dan signifikan dalam sejarah perzakatan di Indonesia. 
4.      Mahmudi[11]
Zakat merupakan pilar rukun Islam yang harus ditegakkan, karena tidak tegaknya zakat menjadikan bangunan Islam tidak sempurna. Untuk itu, perlu dilakukan revitalisasi dan optimalisasi zakat yang dapat ditempuh melalui penguatan tata kelola zakat, penguatan kelembagaan organisasi zakat, penguatan regulasi dan penegakkan hukumnya, dukungan politik, dan penguatan pengawasan zakat. Jika zakat sudah ditegakkan maka ia memiliki kedudukan yang seiring dengan shalat, yaitu zakat bukan lagi dipandang sebagai anjuran agama semata tapi merupakan kewajiban sebagaimana halnya dengan perintah shalat yang selalu diikuti dengan perintah menunaikan zakat.

III DATA DAN METODOLOGI

III.a Data

Data yang digunakan dalam penelititan ini adalah data primer yang bersumber dari hasil wawancara yang diajukan kepada narasumber sebagai pakar dan berkompetensi dalam bidang tersebut, kemudian ditunjang juga oleh data sekunder yang berasal dari pustaka, situs web, maupun karya ilmiah terdahulu.

III.b Metodologi

Karya ilmiah ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan kajian kepustakaan disertai dengan indept interview terhadap pakar, praktisi, maupun akademisi. Dalam hal ini juga menggunakan studi komparasi hasil penelitian terdahulu serta artikel-artikel di media masa yang terkait dengan pembahasan. Dari data-data yang diperoleh kemudian disusun berdasarkan aturan dan analisis yang sesuai dengan kaidah penulisan sehingga mempermudah pembahasan masalah-masalah yang ada.
Dengan metode ini, penulis ingin mengkaji bagaimana model hubungan dan posisi BAZNAS terhadap LAZ dalam upaya realisasi sntralisasi zakat reflek UU Nomor 23 tahun 2011. Diharapkan hasil yang diperoleh dalam studi ini dapat memberikan kontribusi berupa rekomendasi yang membangun dan bermanfaat, baik itu kepada penulis, pembaca, masyarakat, dan Negara.

IV PEMBAHASAN

IV.a Pengelolaan Zakat Pra UU Nomor 23 tahun 2011

Diskursus pengelolaan zakat di Indonesia dimulai pada tahun 1990an, dimana pengelolaan zakat secara profesional di Indonesia mulai dilakukan dengan diprakarsai oleh masyarakat sipil (civil society) yang ditandai dengan kemunculan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) bentukan swasta seperti Dompet Dhuafa, PKPU, Rumah Zakat, Yayasan Dana Sosial Alfalah, Dompet Peduli Umat, dll. Sebelumnya, pengelolaan zakat dikelola secara sederhana,
meskipun sudah ada Badan Amil Zakat, namun kinerjanya belum optimal[12].
Pemerintah melalui Departemen Agama menginginkan adanya suatu sentralisasi pengelolaan zakat, dengan mengajukan revisi atas UU 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam hal ini, tampaknya terlihat adanya suatu niatan baik dari pemerintah, terutama Departemen Agama, untuk memberikan perhatian lebih terhadap aktifitas pengelolaan zakat, yang sering dipandang sebagai ibadah sosial ini. Memang, sejakdisahkannya UU pengelolaan zakat tersebut, saat ini telah hadir ribuan lembaga swasta pengelola zakat.
Pemerintah berasumsi bahwa kondisi ini akan membawa pada inefisiensi pengelolaan zakat nasional. Karenanya, sudah seharusnya, pengelolaan zakat nasional dapat dilakukan secara sentralistik. Di mana, semua arus dana zakat terkontrol oleh pemerintah, baik dalam proses pengumpulan maupun dalam agenda pemberdayaannya. Dengan sentralisasi ini, diharapkan kebermanfaatan zakat dapat lebih maksimal dirasakan oleh kelompok mustahiq.
Upaya reformasi pengelolaan zakat tersebut merupakan sebuah titik terang baru bagi dunia perzakatan nasional. Fokus penuh pemerintah diharapkan mampu menaikan kapasitas dari institusi pengelola zakat, dengan masuknya pemerintah sebagai agen utama penggerak zakat sebagai pilar redistribusi kesejahteraan nasional. Dalam pelaksanaannya, idealnya memang bahwa zakat semestinya dikelola oleh negara, yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakatnya.
Namun, upaya sentralisasi pengelolaan zakat nasional saat ini, mengalami kendala besar. Setidaknya ada beberapa faktor yang mungkin menjadi kontra produktif terhadap wacana sentralisasi tersebut, yakni: Pertama, konsep peleburan dari lembaga pengelola zakat (LPZ) swasta yang belum jelas. Diakui bersama, bahwa keberadaan LPZ sangat signifikan dalam perkembangan zakat nasional. Ketidakjelasan konsep peleburan LPZ dalam agenda sentralisasi pengelolaan zakat, dikhawatirkan akan membawa kemunduran pengelolaan zakat nasional. Kedua, pemerintah belum memiliki grand design pengelolaan zakat nasional yang terpadu. Keinginan sentralisasi pengelolaan zakat, lebih ditujukan untuk menertibkan keberadaan LPZ. Sementara itu, belum ada agenda yang jelas terkait rancang bangun pengelolaan zakat pasca-sentralisasi ini. Ketiga, sentralisasi pengelolaan zakat tanpa mengubah konsep pengelolaan zakat dari voluntaristik menjadi obligatori, dirasakan tidak akan berdampak signifikan terhadap pengelolaan zakat nasional. Pengelolaan terpusat tanpa adanya kekuatan hukum yang mengikat, dirasakan hanya akan memandulkan produktifitas dari pengelolaan zakat nasional.
Ketiga faktor tersebut tampak penting dalam mempertimbangkan wacana sentralisasi pengelolaan zakat yang tengah gencar dihembuskan oleh pemerintah, terutama departemen agama sebagai pihak yang merasa paling berwenang dalam pengelolaan zakat nasional. selayaknya berkaca dari pengelolaan wakaf yang tersentralkan, tanpa adanya konsep pengelolaan yang jelas, yang membuat wakaf tidak berdaya. Karenanya, geliat pengelolaan zakat yang dirasakan sudah cukup semarak, jangan sampai mati begitu saja karena semangat sentralisasi tanpa adanya konsep pemberdayaan pengelolaan zakat yang terpadu. Bukan tidak mungkin isu reformasi zakat nasional melalui wacana sentralisasi ini, justru menjadi gerakan deformasi yang justru menghancurkan aktifisme pengelolaan zakat yang sudah sedemikian berkembang[13].

IV.b Pengelolaan Zakat Pasca UU Nomor 23 tahun 2011[14]

DPR telah mengesahkan RUU Pengelolaan Zakat menjadi UU pada rapat paripurna 27 Oktober 2011. RUU Zakat yang diperjuangkan sejak DPR periode 2004-2009 dan naskah-nya telah selesai dibuat DPR sejak tahun 2010 sedangkan draft pemerintah baru masuk pada April 2011, ternyata pembahasannya berjalan relatif singkat. Pembahasan RUU Zakat selesai di bulan September 2011, hanya sekitar 3 bulan saja.
UU No. 23 Tahun 2011 yang merupakan amandemen terhadap UU No. 38 Tahun 1999 ini, menjadi kebijakan pemerintah yang paling penting dan signifikan bagi dunia zakat nasional ke depan, bahkan bisa berdampak hingga 1-2 dekade ke depan.
Pokok-Pokok Pemikiran UU Nomor 23 tahun 2011
·         Sentralisasi pengelolaan zakat nasional oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang melaksanakan fungsi perencanaan,  pelaksanaan, pengendalian, pelaporan dan pertanggungjawaban, dimana BAZNAS adalah lembaga pemerintah nonstruktural yang mandiri dan bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama;
·         Pengelolaan zakat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan oleh BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota; 
·         BAZNAS, BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ;
·         Masyarakat dapat mendirikan LAZ untuk membantu BAZNAS;
·         LAZ wajib mendapat izin Menteri Agama dengan syarat: (a) terdaftar sebagai ormas Islam; (b) berbadan hukum; (c) mendapat rekomendasi BAZNAS; (d) memiliki pengawas syariah, (e) memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan; (f) bersifat nirlaba; (g) memiliki program pendayagunaan zakat; dan (h) bersedia di-audit syariah dan keuangan secara berkala;
·         Amil Zakat yang beroperasi tanpa izin dipidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp 50 juta.
·         BAZNAS dibiayai APBN dan hak amil, BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai APBD, hak amil dan APBN, dan LAZ dibiayai hak amil;
·         Menteri Agama melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ, dan dapat memberikan sanksi administratif atas pelanggaran berupa peringatan tertulis, pembekuan operasi hingga pencabutan izin.
·         LAZ yang telah dikukuhkan Menteri Agama sebelum UU berlaku tetap diakui dan wajib menyesuaikan diri dengan UU baru paling lambat 5 tahun.

IV.c Permasalahan dan Solusi Menurut Pakar

Dalam penelitian yang dilakukan melalui wawancara kepada para pakar, penulis berhasil merumuskannya dalam tabel berikut:
Tabel permasalahan dan solusi model hubungan BAZNAS dengan LAZ dalam realisasi sentralisasi zakat refleksi UU No 23 tahun 2011(Bapak Ali Sakti)
Tabel 1. Permasalahan
No
Lembaga
Sistem
SDI/Keanggotaan
1
Posisi Baznas sebabagi pusat sentralisasi (Regulator dan operator)
Sistem birokrasi yang ribet dan ruwet
Profesionalisme perlu ditinjau ulang
2
UPZ yang legal yang diperbolehkan menghimpun dan yang lain dilarang
Koordinasi dalam penyaluran
Minimnya tenaga ahli
3
UPZ diharuskan membentuk ormas
Manajemen muzakki


Tabel 2. Solusi
No
Lembaga
Sistem
SDI
1
Baznas bersifat regulator dan pengawas
Sistem yang transparan akuntanbel dan amanah
Menyediakan sekolah semacam STAN yang memang diperuntukan menjadi amil
2
Baznas menjadi departemen tersendiri
Pengelolaan yang profesional
Totalitas dalam pengamdian untuk ummat dan agama
3
Baznas manjadi lembaga ekonomi bukan agama
NPWZ sebagai single identity number


Tabel permasalahan dan solusi model hubungan baz dengan laz dalam realisasi sentralisasi zakat refleksi UU No 23 tahun 2011 (IMZ)
Tabel 1. Permasalahan
No
Lembaga
Sistem
SDI/Keanggotaan
1
Posisi Baznas sebabagi pusat sentralisasi (Regulator dan operator)
Sistem birokrasi yang ribet dan ruwet
Profesionalisme perlu ditinjau ulang
2
UPZ yang legal yang diperbolehkan menghimpun dan yang lain dilarang
Koordinasi dalam penyaluran yang masih belum kondusif
Minimnya tenaga ahli
3
UPZ diharuskan membentuk ormas



Tabel 2. Solusi
No
Lembaga
Sistem
SDI
1
Tertata sistematis tanpa adanya intervensi
Perbaikan sistem birokrasi yang mudah dan cepat tanggap
Menyiapkan amil yang handal
2
UU No 23 tahun 2011 lebih baik ketimbang UU No 38 tahun 1999
NPWZ sebagai single identity number
Sosialisasi dan penyuluhan yang gencar
3
Upaya perbaikan dalam posisi zakat pada kancah ekonomi Indonesia


4
UPZ diberi kebebasan sebagai bentuk penyelenggaraan ummat dalam menunaikan zakat



Tabel permasalahan dan solusi model hubungan baz dengan laz dalam realisasi sentralisasi zakat refleksi UU No 23 tahun 2011 (Bapak Hendri Tanjdung)
Tabel 1. Permasalahan
No
Lembaga
Sistem
SDI/Keanggotaan
1
Posisi Baznas sebabagi pusat sentralisasi (Regulator dan operator)
Sistem birokrasi yang ribet dan ruwet
Profesionalisme perlu ditinjau ulang
2
UPZ yang legal yang diperbolehkan menghimpun dan yang lain dilarang
Koordinasi dalam penyaluran yang masih belum kondusif
Minimnya tenaga ahli
3
UPZ diharuskan membentuk ormas


4
Posisi muzakki adalah zakat yang diambil bukan mengambil


5
Supermasi hukum yang masih lemah terhadap para pelanggar hukum





Tabel 2. Solusi
No
Lembaga
Sistem
SDI
1
BAZNAS sebagai regulator, BAZDA dan UPZ sebagai operator
Perbaikan sistem birokrasi yang mudah dan cepat tanggap
Sumberdaya yang memiliki sifat dan jiwa juang
2
UU No 23 tahun 2011 lebih baik ketimbang UU No 38 tahun 1999
Zakat sebagai pengurang pajak
Mendapat upah gaji yang sesuai dengan UMR namun terbatas pada 1/8 dari nominal zakat yang terkumpul
3
Upaya perbaikan dalam posisi zakat pada kancah ekonomi Indonesia
NPWZ sebagai single identity number

4
UPZ diberi kebebasan sebagai bentuk penyelenggaraan ummat dalam menunaikan zakat
Sistem pelaporan yang akuntanbel, transparan, dan amanah


IV.d Alternatif Posisi BAZNAS[15]

Jika BAZNAS memilih kebijakan tidak operasional menghimpun dan mengelola zakat, maka terdapat beberapa alternatif untuk penataan posisi kelembagaan. Alternatif tersebut tidak hanya menyangkut BAZNAS ansich, melainkan mengait persoalan yang lebih besar, yakni Sistem Pengelolaan Zakat dan Wakaf. Dalam pengelolaan zakat di Indonesia, sukses dan tidaknya tidak lagi bergantung pada inisiatif masing-masing BAZ dan LAZ. Tetapi dikondisikan dalam sebuah sistem yang jelas, terarah dan terukur hingga pengelolaan zakat sungguh-sungguh bisa terpadu. Urutan alternatif berikut ini mengandung derajat ketinggian kelembagaan. Bila urutan pertama tak memungkinkan, urutan berikut menjadi pertimbangan alternatif pengganti. Demikian seterusnya dengan urutan alternatifnya adalah sebagai berikut:
1.      Kementrian Zakat dan Wakaf (Kezwa)
Negara Indonesia memang sekuler. Namun, untuk mengurusi agama, pemerintah tetap memiliki Depag. Dengan pertimbangan tersebut, menjadi mungkin pemerintah juga membentuk lembaga khusus, yakni Kementerian Zakat dan Wakaf (Kezwa). Lembaga ini tentunya dipimpin oleh seorang menteri. Agar tidak memberatkan beban negara, Kezwa dapat kementerian non-departemen. Dengan wujud departemen yang dipimpin oleh seorang menteri, pengelolaan zakat dapat mandiri, full power dan memiliki kebijakan untuk bangsa Indonesia.
2.      Badan Perencanaan dan Pengembangan Zakat dan Wakaf (Bappezwa)
Jika pembentukan kementerian tidak memungkinkan, pemerintah dapat membentuk Badan Perencanaan dan Pengembangan Zakat dan Wakaf (Bappezwa). Kedudukan Bappezwa langsung berada di bawah koordinasi Presiden RI. Atau dapat juga di bawah Wakil Presiden RI. Peran dan fungsi Bappezwa, sama seperti halnya Bappenas. Dalam operasinya, Bappezwa berkoordinasi dengan seluruh BAZ dan LAZ.
Kedudukan BAZ dan LAZ tidak tergantung pada Bappezwa. BAZ dan LAZ tetap mandiri sendiri di daerah atau di tempat masing-masing. Tetapi dalam pengelolaan zakat, BAZ dan LAZ ini harus mengacu pada seluruh kebijakan yang dirumuskan Bappezwa. Rumusan kebijakan itu tetuang dalam Kebijakan Pengelolaan Zakat dan Wakaf Indonesia (Kapezwi). Dalam perumusannya, Bappezwa dapat mengundang BAZ dan LAZ untuk bertukar pendapat. Tugas merumuskan konsep kebijakan dalam Kapezwi, dikerjakan oleh tim khusus yang dibentuk Bappezwa. Blue print Kapezwi ini yang menjadi rujukan dasar pengelolaan zakat dan wakaf seluruh BAZ dan LAZ.
3.      Badan Regulator Zakat dan Wakaf (Barezwa)
Bila kondisi tersebut masih memiliki banyak problem hingga sulit untuk direalisasikan, pemerintah dapat membentuk Badan Regulator Zakat dan Wakaf (Barezwa). Kedudukan Barezwa sama seperti Bappezwa, yakni berada di bawah pengawasan Presiden RI atau Wakil Presiden RI. Dalam operasional kerja, Barezwa memerankan diri seperti Bank Indonesia (BI).
Dengan kedudukan yang independen, Barezwa memformat ulang penataan zakat dan wakaf di Indonesia. Barezwa bukan hanya membuat Kapezwi, melainkan juga membenahi seluruh BAZ dan LAZ. Dengan wewenang dan otoritasnya, Bareza berhak mem-fit and propper test kembali para amil. Termasuk dalam wewenang itu adalah membenahi BAZ dan LAZ, mana yang masih layak dan mana yang harus dirombak total. Dengan peran ini, Barezwa membuat kebijakan, regulasi, mengawasi dan menjadi wasit bagi seluruh BAZ dan LAZ yang ada. Satu peran lagi yang diemban Barezwa adalah mendorong BAZ dan LAZ menjadi sehat, agar dapat berkiprah maksimal dalam menanggulangi kemiskinan.
Dala prakteknya, BI membagi dunia perbankan berdasarkan pemilikan. Bank-bank negara seperti BRI, BNI dan Bank Mandiri dimiliki pemerintah, sedangkan bank swasta seperti BCA, BII dan BMI dimiliki masyarakat. Pemilihan tersebut dapat dijadikan landasan bagi Barezwa dalam menempatkan BAZ dan LAZ. BAZ merupakan lembaga yang dikelola pemerintah, LAZ lembaga yang dikelola masyarakat. Perlu ditegaskan, hal tersebut hanya sebatas pengelolaan dan bukan pemilikan. Ini perbedaan mendasar antara bank dan lembaga zakat. Motivasi pendirian bank untuk mencari laba, maka bank memiliki shareholder, sedangkan tujuan lembaga zakat ialah memberdayakan mustahik, maka lembaga ini dimiliki masyarakat khususnya stakeholder.

4.      Direktorat Jenderal Zakat dan Wakaf (Dirjen Ziswa)
Alternatif terakhir BAZNAS dijadikan sebuah direktorat khusus, yakni Direktorat Jenderal Zakat dan Wakaf (Dirjen Ziswa). Kedudukan Dirjen Ziswa di bawah seorang menteri. Penempatan Dirjen Ziswa tidak harus di Depag. Karena mengelola keuangan, Dirjen Ziswa dapat ditempatkan di Depkeu. Kedudukan Dirjen Ziswa sejajar dengan Dirjen Pajak.
Dalam operasionalnya, seluruh fasilitas Dirjen Pajak dapat digunakan oleh Dirjen Ziswa. Dalam segi cost, hal ini merupakan kerja yang paling efisien dan efektif. Dalam berhubungan dengan BAZ dan LAZ, seluruh LPZ tersebut hanya menjadi UPZ (Unit Penghimpun Zakat). Status BAZ dan LAZ dilebur menjadi bagian dari Dirjen Ziswa. Dalam penyaluran dan pendayagunaannya, bekerjasama dengan seluruh pemimpin pemerintah daerah.
Untuk alokasi pemanfaatannya, dapat mempertimbangkan beberapa hal berikut:
-          Sesuai dengan dana yang terhimpun di daerah tersebut;
-          Tergantung pada program yang diajukan;
-          Tergantung pada total jumlah dana terhimpun untuk didistribusikan ke seluruh Indonesia.
Dari keempat alternatif tersebut, seluruh BAZ dan LAZ dapat berperan dan berfungsi seperti halnya sekarang berjalan. Atau, peran dan fungsinya dikurangi hanya sebata UPZ saja. Kedua model ini amat tergantung pada kejelian tim yang merumuskan kebijakan pengelolaan zakat. Dalam hal membahas keseluruhan alternatif, dapat dilakukan jika pemerintah memang bersungguh-sungguh mengelola zakat dan wakaf. Jika tidak, maka biarkan BAZNAS, BAZ dan LAZ berjalan seperti halnya sekarang. Meski terjadi beberapa benturan, pada kahirnya akan menemukan titik temu sendiri. Pengelolaan zakat pasti akan menjumpai logikanya sendiri. Disamping itu, sesama LPZ harus bisa menempatkan diri saat terjadi gesekan dan benturan di lapangan, karena sifat LPZ ynag lebih dekat kepada tuntutan Islam bukan politik.

V KESIMPULAN

V.a Kesimpulan

Dari pemaparan dan pembahasan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan, diantarnya adalah sebagai berikut:
1)      Pokok permasalahan dalam realisasi sentralisasi zakat refleksi UU Nomor 23 tahun 2011 adalah posisi BAZNAS yang bertindak sebagai regulator namun juga operator;
2)      Sistem yang ada dalam kancah pengelolaan zakat di Indonesia adalah bidang agama saja yang pada aspeknya tidak sekedar agama namun juga bidang ekonomi;
3)      Dalam memaksimalkan potensi zakat dan muzakki sangat relevan dengan diadakannya NPWZ (Nomor Poko Wajib Zakat) sebagai single identity number oleh muzakki;
4)      Guna menyediakan tenaga ahli dan kompetensi, perlu diadakanya lembaga pendidikan khusus zakat sejenis dengan STAN yang nantinya diperuntukkan untuk menjadi amil zakat’
5)      Upaya realisasi zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan mustahik adalah dengan menjadikan zakat sebagai instrumen kebijakan publik.

V.b Rekomendasi

Rekomendasi yang dapat penulis tuturkan adalah bahwa, posisi BAZNAS diantara BAZ dan LAZ haruslah tegas, independen, dan transparan serta amanah. Fokus BAZNAS selayakanya adalah sebagai regulator dan bukan operator, hali ini bertujuan untuk mewujudkan suatu sistem yang terkoordinir, rapi, serta bersinergi. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah harus turut mendorong posisi BAZNAS sebagai unit lembaga publik yang operasionalnya hanya sebatas pada pengawasan, peraturan dan perlindungan.

DAFTAR PUSTAKA


Budiman, Moc. Arif. Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelolaan Zakat di Indonesia: Perspektif Legalisasi. Jurnal Intekna, Vol. VI No. 1 Mei 2006
Fakhruddin. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang: UIN-Malang Press. 2008
Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani. 2002
________________. Anda Bertanya tentang Zakat, Infak, dan Sedekah Kami Menjawab. Jakarta: BAZNAS. 2005
Hafidhuddin, Didin, Ahmad Juwaini. Membangun Peradaban Zakat: Meniti Jalan Kegemilangan Zakat. Jakarta: Intitut Manajemen Zakat. 2006
Hafidhuddin, Didin, dkk. Problematika Zakat Kontemporer: Artikulasi Proses Sosial Politik Bangsa. Jakarta: FOZ. 2003
Ibrahim, Yasin. Kitab Zakat: Hukum, Tata Cara dan Sejarah. Bandung: Penerbit Marja. 2008
Inoed, H. Amiruddin dkk. Anatomi Fiqh Zakata: Potret dan Pemahaman Badan amil Zakat Sumatera Selatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005
Mahmudi. Penguatan Tata Kelola dan Reposisi Kelembagaan Organisasi Pengelola Zakat. Jurnal EKBISI, Vol. 4 No. 1 Desember 2009
Mufraini, M. Arif. Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan. Jakarta: Kencana. 2006
Qardhawi, Yussf. Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Zikrul Hakim. 2005
Sudewo, Eri. Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar. Jakarta: Institut Manajemen Zakat. 2004
Sudirman. Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas. Malang: UIN-Malang Press. 2007
Sularno, M. Pengelolaan Zakat Oleh Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/ Kota Se Daerah Istimewa Yogyakarta: Studi Terhadap Implementasi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. IV No. 1 Juli 2010
Suroso. Manajemen Badan Amil Zakat Ifaq dan Shadaqah (BAZIS) Dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Islam. Jurnal Fordema Vol. 7 No. 1 Juni 2007
Susetyo, Heru. Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara Tetangga. Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Vol. 1 Agustus 2008



[1] Mahasiswa STEI Tazkia tingkat 3 Semester 5
[2] Suroso. Manajemen Badan Amil Zakat Ifaq dan Shadaqah (BAZIS) Dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Islam. Jurnal Fordema Vol. 7 No. 1 Juni 2007. Hlm. 99
[3]Budiman, Moch. Arif. Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelola Zakat di Indonesia: Perspektif Legalisasi. Jurnal Intekna, Vol. VI No. 1 Mei 2006
[4] Majma’ lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Daar el-Ma’arif, 1972), Juz I hlm. 396.
[5] Majma’ lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Daar el-Ma’arif, 1972), Juz I hlm. 396.
[6] Ibrahim, Yasin. Kitab Zakat: Hukum, Tata Cara dan Sejarah. Bandung: Penerbit Marja. 2008. Hlm. 85-91
[7] Fakhruddin. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang: UIN Malang Press. 2008. Hlm. 243-251
[8] Sularno, M. Pengelolaan Zakat Oleh Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/ Kota Se Daerah Istimewa Yogyakarta: Studi Terhadap Implementasi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. IV No. 1 Juli 2010. Hlm 34-44
[9] Susetyo, Heru. Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara Tetangga. Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Vol. 1 Agustus 2008.
[10] Budiman, Moch. Arif. Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelola Zakat di Indonesia: Perspektif Legalisasi. Jurnal Intekna, Vol. VI No. 1, Mei 2006
[11] Mahmudi. Penguatan Tata Kelola dan Reposisi Kelembagaan Organisasi Pengelola Zakat. Jurnal EKBISI, Vol. 4 No. 1 Desember 2009. Hlm. 69-84
[12] Roundtable Discussion Membaca UU Pengelolaan Zakat dalam Multi-Perspektif: Konstitusi, Ekonomi, Sosiologis, dan Sejarah Bangsa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 22 November 2011
[13] Fakhruddin. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang: UIN Malang Press. 2008. Hlm. 248-251
[14] Wibisono, Yusuf. Masa Depan Pengelolaan  Zakat Nasional Pasca UU No. 23 Tahun 2011. Makalah disampaikan pada Public Expose “ Indonesia Zakat and Development Report 2012”  diselenggarakan oleh IMZ Jakarta, 30 Januari 2012
[15] Sudewo, Eri. Manajemen Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar. Jakarta: Institut Manajemen Zakat. 2004. Hlm. 277-280

No comments:

Post a Comment

Engkau yang di Seberang

Pesona senja merona jingga Indah dipandang mata Langkah berbuah sejarah Tujuan satukan arah Yang lekuk semakin menunduk Yang menunduk be...