In
September 2011, the Government of the Republic of Indonesia passed UU No. 23
tahun 2011 neighbor centralized management of zakat. This is based on the
reality of management of charity that still have not been well integrated in
the collection, distribution, and reporting so impressed the amil zakat
institutions to one another is still running on their own. Passing of the Law
No. 23 Year 2011 marked a new era ties between Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) with the Lembaga Amil Zakat (LAZ). The concept of centralization and
coordination, between BAZNAS and LAZ not without its challenges, the pros and
cons of Law Act. It is interesting to study the relationship so that the model
will achieve a better Indonesia through zakat primarily for the purpose of
poverty alleviation. This paper uses qualitative descriptive analysis method
informant interviews with experts to determine the model of the ideal
relationship between institutions.
This
paper aims to discuss the state of the management of zakat in Indonesia during
the pre and post adoption Zakat Management Act UU No. 23 tahun 2011 and the
alternative models the position of the institutions concerned. The discussion
includes a model of the relationship between institutions, so that the
management system is a national charity can be done anamah, transparent, and
professional.
Keyword : UU No. 23 tahun 2011, Model of
Relationship, Centralization, Zakat
JEL : A13, D63, E69,
H11
I
PENDAHULUAN
I.a Latar Belakang
Islam sebagai pandangan hidup (way of life) mempunyai ajaran
yang menjamin keselamatan dunia akhirat, bahkan eksistensinya diperadaban
manusia sebagai rahmatan lil’alamin. Hal ini termanifestasi dalam
berbagai bidang kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan
sebagainya. Oleh karena itu, penerjemahan ajaran Islam akan terus berkembang
sesuai dengan percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dalam tataran
ini pemberdayaan dalam berbagai bidang tersebut mutlak sangat diperlukan[2].
Zakat merupakan salah satu rukun Islam memiliki makna strategis
dalam kehidupan sosial umat. Menunaikan zakat selain sebagai implementasi
kewajiban seorang muslim, juga merupakan wujud solidaritas sosial terhadap
sesama. Dalam kehidupan keseharian, kita dihadapkan pada realitas sosial
ekonomi umat yang masih memerlukan perhatian dan solusi.
Konsepsi pemberdayaan ekonomi umat melalui pengamalan ibadah zakat
yang diajarkan dalam Islam merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh
dalam mengatasi masalah sosial dimaksud. Potensi zakat yang cukup signifikan
tersebut perlu digali secara optimal agar dapat digunakan untuk ikut
menggerakkan perekonomian umat disamping potensi-potensi yang lain sehingga
taraf hidup umat menjadi terangkat.
Namun yang menjadi masalah selama ini antara lain adalah masalah
pengelolaan zakat yang belum dilakukan secara professional sehingga pengumpulan
dan penyaluran zakat menjadi kurang terarah disamping masih rendahnya pemahaman
masyarakat terhadap permasalahan zakat terutama masalah yang aktual dan
kontemporer.
Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 muncul dalam semangat agar
lembaga pengelola zakat tampil dengan professional, amanah dan mandiri. Masih
rendahnya kepercayaan terutama para muzakki terhadap para amil zakat juga
menjadi salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian. Selain itu kesadaran
umat untuk berzakat, berinfaq dan bershadaqah juga masih harus ditumbuhkan.
Hingga saat ini, pengelolaan zakat
di Indonesia masih jauh dari optimal terutama apabila kita membandingkan antara
besarnya dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh para lembaga pengelola zakat
dan potensi zakat yang sesungguhnya. Beragam faktor dapat dikemukakan sebagai
penyebabnya, antara lain minimnya kesadaran muzakki untuk berzakat dan
rendahnya kepercayaan terhadap organisasi pengelola zakat yang ada. Selain itu,
pemerintah yang diharapkan menjadi tulang punggung utama pengelolaan zakat
sebagaimana dititahkan oleh syariat belum menunjukkan peran optimalnya.
Meskipun demikian, seiring dengan
mencairnya ketegangan ideologis antara negara dan umat Islam, perhatian
pemerintah terhadap pengelolaan zakat secara bertahap ternyata menunjukkan
peningkatan dan perbaikan dari waktu ke waktu[3].
Disahkannya Undang-Undang Nomor 23
tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat merupakan langkah perbaikan dari
Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999. Kehadiran
undang-undang baru ini mengundang pro dan kontra menyangkaut sentralisasi
pengelolaan zakat oleh Baznas, sehingga perlu diteliti bagaimana posisi Baz dan
Laz dalam sebuah model hubungan yang ideal guna menciptakan pengelolaan zakat
yang transparan, akuntanbel, amanah dan mampu mensejahterkan masyarakat luas
dengan distribusi yang adil dan merata.
I.b Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari karya
ilmiah ini adalah Bagaimana Optimalisasi Model Hubungan BAZ dengan LAZ dalam
Upaya Realisasi Sentralisasi Zakat Sebagai Refleksi UU No. 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat?
I.c Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari karya ilmiah
ini adalah untuk mengetahui Model Hubungan BAZ dengan LAZ dalam Upaya
Realisasi Sentralisasi Zakat Sebgai Refleksi UU No. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat yang ideal dan berkesinambungan.
II LANDASAN
TEORI
II.a Zakat
Dalam bukunya, Zakat dalam Perekonomian Modern (2002) dan Anda
Bertanya tentang Zakat, Infak, dan Sedekah Kami Menjawab (2005), Dr. K.H. Didin
Hafidhuddin, M.Sc. menjelaskan bahwa ditinjau dari segi bahasa, kata zakat
mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu ‘keberkahan’, al-namaa
‘pertumbuhan dan berkembang’, ath-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shalahu
‘keberesan’[4].
Sedangkan secara istilah, meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi
yang agak berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama,
yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang
Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak
menerimanya dengan persyaratan tertentu pula[5].
Orang yang wajib membayar zakat adalah muzakki sedangakan yang
berhak untuk menerima dana zakat adalah mustahik yang terbagi kedalam delapan
golongan, yaitu: fakir, miskin, ‘amil, muallaf, budak belian,
orang yang terbebani hutang, di jalan Allah (fi sabilillah) dan
pengembara (ibnu sabil)[6].
II.b Lembaga Amil Zakat di
Indonesia
Dasar hukum berdirinya lembaga pengelola zakat di Indonesia adalah
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, Keputusan Menteri
agama Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999, dan
keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/
291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat serta selanjutnya
Undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang Sentralisasi Zakat. Sedangkan dasar
hukum lain yang memiliki kaitan erat dengan zakat adalah Undang-undang No. 17
tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang in menjelaskan bahwa zakat
merupakan pengurang Penghasilan Karena Pajak (PKP).
Pengelolaan zakata sebagaimna tertuang dalam pasal 1 ayat (1)
Undang-undang No. 38 tahun 1999, didefinisikan sebagai kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan
pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Organisasi pengelola zakat yang
diakui pemerintah terdiri atas dua lembaga, yaitu Badan Amil Zakat dan Lembaga
Amil Zakat.
Badan Amil Zakat (BAZ) adalah lembaga yang dibentuk pemerintah yang
bertugas untuk mengelola zakat, sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah
lembaga yang dibentuk oleh masyarakat dan mendapatkan pengakuan dari
pemerintah. BAZ dan LAZ mendapat tugas untuk mengeluarkan surat Bukti Setor
Zakat (BSZ) yang dapat digunakan untuk mengurangkan Penghasilan Kena Pajak
(PKP) saat membayar pajak di Kantor Pelayanan Pajak.
BAZ memiliki struktur dari pusat hingga kecamatan. BAZ di tingkat
pusat di sebut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). BAZNAS berdiri berdasarkan
surat keputusan presiden Republik Indonesia nomor 8 tahun 2001 tanggal 17
Januari 2001. Sedangkan BAZ di tingkat provinsi dikenal dengan sebutan Badan
Amil Zakat Daerah (BAZDA), BAZDA Tk I/ BAZDA Provinsi untuk tingkat provinsi
dan BAZDA Tk II/ BAZDA Kota untuk tingkat kabupaten atau kotamadya.
Meskipun BAZ dibentuk oleh pemerintah, namun proses pembentukannya
sampai kepengurusannya harus melibatkan unsur masyarakat. Dengan demikian,
masyarakat luas dapat menjadi pengelola BAZ sepanjang kualifikasinya memenuhi
syarat sebagimana tertuang dalam ayat 6 Undang-undang
No. 38 tahun 1999.
Lembaga Amil Zakat (LAZ) merupakan lembaga pengelola zakat yang
dibentuk oleh masyarakat sehingga tidak memiliki afiliasi dengan BAZ. BAZ dan
LAZ masing-masing berdiri sendiri dalam pengelolaan zakat.
II.c Konsep Pengelolaan Zakat
dan Manajemen Zakat di Indonesia
Zakat merupakan ibadah yang berdimensi ganda, baik vertikal maupun
horizontal. Dikatakan demikian, karena zakat di samping bersifat ta’abuddi
(merupakan ibadah kepada Allah SWT), juga bersifat ijtima’iyah (sosial masyarakat).
Oleh karena itu, maka pelaksanaannya harus dilakukan dengan cara memperhatikan
dan mempertimbangkan kedua dimensi tersebut. Pada prinsipnya, dibenarkan oleh
syariat Islam apabla seseorang yang berzakat langsung memberikan sendiri
zakatnya kepada para mustahiq dengan syarat kriteria mustahiq sejalan dengan
firman Allah Ta’ala dalam surat at Taubah: 60. Akan tetapi, sejalan denga
firman Allah tersebut dan juga berdasarkan tuntunan Nabi Muhtammad saw, tentu
akan lebih utama jika zakat itu disalurkan lewat amil zakat yang amanah,
bertanggungjawab, dan terpercaya. Ini dimaksudkan agar distribusi zakat
tersebut tepat sasaran sekaligus menghindari penumpukan zakat pada mustahiq
tertentu sementara mustahiq yang lainnya tidak mendapatkan haknya.
Disamping itu, terdapat mustahiq yang berani terang-terangan
meminta dan ada pula mustahiq yang merasa berat (malu) untuk meminta. Dengan
demikian, dimungkinkan zakat hanya diberikan kepada mereka yang berani,
sementara kurang memperhatikan terhadap mereka yang malu.
Oleh karena itu, maka ahli fiqh (fuqaha) menekankan tanggungjawab
pemerintah dalam pengumpulan zakat dengan cara yang benar, menyalurkanya dengan
cara yang benar pula, dan menghalanginya dari hal-hal yang bathil. Allah Ta’ala
berfirman dalam surat al Hajj: 41,
“ (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka
di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh pada
berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah
kembali segala urusan.”
Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para khalifah setelah
beliau. Apabila pemerintah tidak memainkan perannya dalam mengurus zakat, maka
boleh didirikan badan, institusi, lembaga, asosiasi, atau panitia yang
melaksanakan tanggungjawab ini, namun semuanya itu harus berada di bawah
pengawasan pemerintah. Badan-badan semacam ini lebih mampu, jika dibandingkan
dengan individu-individu, dalam mengembangkan sumber-sumber zakat dan
menyalurkannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya secara syar’i.
Pengelolaan zakat di Indonesia memiliki beberapa tahapan, yaitu
sebagai berikut[7]:
1.
Sebelum
kelahiran UU Nomor 38 tahun 1999 tentan gpengelolaan zakat
a.
Pengelolaan
zakat di masa penjajahan
b.
Pengelolaan
zakat di awal kemerdekaan
c.
Pengelolaan
zakat di masa orde baru
d.
Pengelolaan
zakat di era reformasi
2.
Pasca
kelahiran UU Nomor 38 tahun 1999
3.
Kelahiran
UU Nomor 23 tahun 2011
II.d Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian yang
dilakukan oleh M. Sularno mengenai Pengelolaan Zakat Oleh Badan Amil Zakat Daerah
Kabupaten/ Kota Se Daerah Istimewa Yogyakarta: Studi Terhadap Implementasi
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat didapati hasil
sebagai berikut :
Implementasi Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat yang dilakukan oleh pengurus BAZDA Kabupaten/Kota se Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam kontek pengorganisasian, pengumpulan dan pendistribusian zakat
adalah sebagai berikut :
a.
Pengorganisasian
Dalam hal pengorganisasian, secara umum struktur kepengurusan BAZDA di masing-masing
Kabupaten/Kota se DIY telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Meski demikian, terdapat BAZDA yang belum memiliki Unit
Pengumpul Zakat, hal ini menunjukkan adanya amanah Undang-Undang yang belum terimplementasi
dengan sempurna.
b.
Pengumpulan
zakat
BAZDA kabupaten / kota di DIY dalam hal pengumpulan zakat memiliki
dua alternatif, yaitu secara aktif mendatangi para muzakki untuk mengambil
zakat dan pasif menunggu para muzakki datang memberikan zakat. Secara umum,
prioritas muzakki yang menjadi sasaran BAZDA baru pada Pegawai Negeri Sipil, sementara masyarakat
lainnya belum mendapat perhatian serius.
Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa dalam hal pengumpulan,
belum mengimplementasikan aturan dan ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dengan baik.
c.
Pendistribusian
zakat
Dalam hal pendistribusian zakat, dari data dan pembahasan,
diketahui bahwa
penyaluran dana zakat yang terkumpul telah diarahkan kepada delapan kelompok
dengan prosentasi yang beragam, namun disesuaikan pada kondisi obyektif di
masing-masing daerah, didahului dengan rapat pengurus. meskipun belum memadai
dan berlanjut, sudah ada usaha terbatas dari BAZDA untuk melakukan pembinaan
dan pendampingan bagi para mustahiq agar bersifat produktif harta zakat yang
diterimanya. Untuk mempertanggung jawabkan kewajibannya kepada stakeholder,
setiap BAZDA telah melakukan audit
secara internal dan penyampaian laporan hasil kerja dalam bentuk pamflet maupun buku. Maka, dalam
hal pendistribusian dapat disimpulkan bahwa implementasi yang dilakukan oleh
BAZDA Kabupaten/Kota se-Daerah Istimewa Yogyakarta cukup sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999. Terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh pengurus BAZDA kabupaten /
kota di DIY dalam melaksanakan program-programnya, yang secara umum dapat
dibagi kedalam dua kategori, yaitu :
a.
Ditinjau dari asal kendala,
terdapat dua kendala, yakni internal dan eksternal. Kendala internal meliputi
masih belum adanya manajemen profesional dalam pengelolaan BAZDA, belum adanya
honorarium yang definitif bagi para pengurus, masih banyaknya anggota pengurus
yang menjadikan pekerjaannya di BAZDA hanya sebagai pekerjaan sampingan dan
belum adanya kantor yang representatif. Sementara kendala eksternal meliputi
tidak adanya kesadaran yang penuh dari para muzakki untuk menyerahkan zakatnya
pada BAZDA dan lebih senang menyalurkannya secara langsung kepada mustahiq,
belum adanya regulasi, utamanya berupa Peraturan Daerah tentang Zakat, dan
masih adanya pungutan zakat secara internal di instansi pemerintah.
b.
Dari spesifikasi kinerja,
bidang organisasi mengalami kendala dalam manajemen operasional, akibat
kesibukan dan kurangnya sikap profisonalitas para pengurus. Begitu juga proses
penyegaran di tubuh pengurus BAZDA yang tidak berjalan baik. Di bidang
pengumpulan, sasaran muzakki yang belum tergarap sempurna dan adanya lembaga
exofficio sebagai UnitPengumpul Zakat di instansi-instansi pemerintah maupun
swasta juga menjadi kendala dalam proses pengumpulan. Sementara pada bidang
distribusi, kendala yang dihadapi terutama adalah belum terdatanya dengan baik
para mustahik sehingga zakat yang diberikan belum dapat didayagunakan secara
optimal, terutama pendayagunaan zakat secara produktif.
Heru Susetyo dalam penelitian terhadap Peran Negara Dalam
Pengelolaan Zakat Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek Negara-Negara
Tetangga memperoleh hasil bahwa, secara legal dan konstitusional negara
Indonesia tidak memiliki kewenangan secara mutlak untuk mengelola zakat.
Konstitusi UUD 1945 dan berbagai macam perundang-undangan tidak menyebutkan
secara eksplisit bahwa negara adalah satu-satunya penyelenggara zakat.
Secara praktek kesejahteraan sosial yang dilakukan negara RI selama
ini, tidak juga menunjukkan bahwa negara RI adalah egara kesejahteraan (welfare
state) yang telah melaksanakan kewajibannya secara penuh untuk memenuhi
kebutuhan dasar rakyatnya apakah dengan pendekatan institusional ataupun
developmental.
Yang terjadi selama ini adalah ketidakjelasan dan tarik ulur
kebijakan dan implementasi kesejahteraan sosial. Maka, ketika ada amandemen UU
No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat yang meletakkan negara sebagai
satu-satunya institusi yang berwenang mengelola zakat, maka sungguh tidak jelas
apa pijakan filosofis, yuridis, maupun sosiologisnya.
Satu-satunya pijakan sentralisasi pengelolaan zakat pada negara
adalah praktik yang dicontohkan Rasulullah saw dan para khalifah yang
mengumpulkan dan mengelola zakat dalam kapasitas sebagai penguasa. Namun, hal itipun
tak dapat dijadikan pijakan utama, karena ada khilafah seperti Utsman bin Affan
yang mengelola zakat secara partisipatif. Antara lain dengan memberikan peluang
pendistribusian zakat oleh para muzakki langsung kepada para mustahiknya.
Tambahan lagi, Indonesia bukanlah negara Islam dan tidak
berkonstitusi Islam kendati pemimpinnya mayoritas Islam, maka sentralisasi
zakat oleh negara tidak otomatis dapat dilakukan.
Jalan tengah yang baik, menurut penulis, adalah seperti apa yang
dikemukakan oleh Edi Suharto, bahwa dalam konteks kebijakan sosial yang
berkeadilan, peran negara dan masyarakat tidak dalam posisi paradoksal
melainkan dua posisi yang bersinergi. Benar, bahwa peran negara dalam pelayanan
sosial seharusnya diperkuat dan bukannya diperlemah seperti diusulkan kaum
neoliberalisme pemuja pasar bebas dan bahwasanya negara adalah pengemban
kewajiban utama dalam pelayanan sosial, namun rakyat juga harus diberi ruang
untuk turut berpartisipasi dalam pelayanan sosial, apalagi ketika terbukti
megara tidak mampu mengemban peran dan kewajiban tersebut. Terkait dengan
pengelolaan zakat, model pelayanan zakat ala singapura dan Malaysia yang
menyuguhkan kolaborasi yang cukup baik antara negara dan masyarakat dapat
mendaji salah satu rujukan.
Moch. Arif Budiman dalam tulisannya
Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelola Zakat di Indonesia Perspektif
Legalisasi menyimpulkan bahwa, secara bertahap kebijakan pemerintah terhadap
pengelolaan zakat di tanah air menunjukkan perbaikan, yaitu dari fase apatisme,
formalisme menuju akomodasionisme. Perubahan sikap pemerintah dari „merintangi‟
menuju „mendukung‟ pengelolaan zakat tentunya tidak terjadi begitu saja,
melainkan berkat perjuangan keras dan terusmenerus dari umat Islam sendiri.
Bentuk kelembagaan pengelola zakat juga telah menjadi semakin baik.
Jika pada awalnya lembaga pengelola zakat ditetapkan hanya di tingkat lokal,
kini sudah ke tingkat nasional. Saat ini zakat sudah menjadi salah satu pranata
kenegaraan. Lahirnya UUPZ Tahun 1999 menandai perkembangan strategis dan
signifikan dalam sejarah perzakatan di Indonesia.
Zakat merupakan pilar rukun Islam yang harus ditegakkan, karena
tidak tegaknya zakat menjadikan bangunan Islam tidak sempurna. Untuk itu, perlu
dilakukan revitalisasi dan optimalisasi zakat yang dapat ditempuh melalui
penguatan tata kelola zakat, penguatan kelembagaan organisasi zakat, penguatan
regulasi dan penegakkan hukumnya, dukungan politik, dan penguatan pengawasan
zakat. Jika zakat sudah ditegakkan maka ia memiliki kedudukan yang seiring
dengan shalat, yaitu zakat bukan lagi dipandang sebagai anjuran agama semata
tapi merupakan kewajiban sebagaimana halnya dengan perintah shalat yang selalu
diikuti dengan perintah menunaikan zakat.
III DATA DAN
METODOLOGI
III.a Data
Data yang digunakan dalam penelititan ini adalah data primer yang bersumber
dari hasil wawancara yang diajukan kepada narasumber sebagai pakar dan
berkompetensi dalam bidang tersebut, kemudian ditunjang juga oleh data sekunder
yang berasal dari pustaka, situs web, maupun karya ilmiah terdahulu.
III.b Metodologi
Karya
ilmiah ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan kajian
kepustakaan disertai dengan indept interview terhadap pakar, praktisi,
maupun akademisi. Dalam hal ini juga menggunakan studi komparasi hasil penelitian
terdahulu serta artikel-artikel di media masa yang terkait dengan pembahasan. Dari
data-data yang diperoleh kemudian disusun berdasarkan aturan dan analisis yang
sesuai dengan kaidah penulisan sehingga mempermudah pembahasan masalah-masalah
yang ada.
Dengan
metode ini, penulis ingin mengkaji bagaimana model hubungan dan posisi BAZNAS
terhadap LAZ dalam upaya realisasi sntralisasi zakat reflek UU Nomor 23 tahun
2011. Diharapkan hasil yang diperoleh dalam studi ini dapat memberikan
kontribusi berupa rekomendasi yang membangun dan bermanfaat, baik itu kepada
penulis, pembaca, masyarakat, dan Negara.
IV
PEMBAHASAN
IV.a Pengelolaan Zakat Pra UU
Nomor 23 tahun 2011
Diskursus pengelolaan
zakat di Indonesia dimulai pada tahun 1990an, dimana pengelolaan zakat secara
profesional di Indonesia mulai dilakukan dengan diprakarsai oleh masyarakat
sipil (civil society) yang ditandai dengan kemunculan Organisasi
Pengelola Zakat (OPZ) bentukan swasta seperti Dompet Dhuafa, PKPU, Rumah Zakat,
Yayasan Dana Sosial Alfalah, Dompet Peduli Umat, dll. Sebelumnya, pengelolaan
zakat dikelola secara sederhana,
meskipun sudah ada Badan Amil Zakat, namun kinerjanya
belum optimal[12].
Pemerintah melalui
Departemen Agama menginginkan adanya suatu sentralisasi pengelolaan zakat,
dengan mengajukan revisi atas UU 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam hal
ini, tampaknya terlihat adanya suatu niatan baik dari pemerintah, terutama Departemen
Agama, untuk memberikan perhatian lebih terhadap aktifitas pengelolaan zakat,
yang sering dipandang sebagai ibadah sosial ini. Memang, sejakdisahkannya UU
pengelolaan zakat tersebut, saat ini telah hadir ribuan lembaga swasta
pengelola zakat.
Pemerintah berasumsi
bahwa kondisi ini akan membawa pada inefisiensi pengelolaan zakat nasional.
Karenanya, sudah seharusnya, pengelolaan zakat nasional dapat dilakukan secara
sentralistik. Di mana, semua arus dana zakat terkontrol oleh pemerintah, baik
dalam proses pengumpulan maupun dalam agenda pemberdayaannya. Dengan
sentralisasi ini, diharapkan kebermanfaatan zakat dapat lebih maksimal
dirasakan oleh kelompok mustahiq.
Upaya reformasi
pengelolaan zakat tersebut merupakan sebuah titik terang baru bagi dunia
perzakatan nasional. Fokus penuh pemerintah diharapkan mampu menaikan kapasitas
dari institusi pengelola zakat, dengan masuknya pemerintah sebagai agen utama
penggerak zakat sebagai pilar redistribusi kesejahteraan nasional. Dalam
pelaksanaannya, idealnya memang bahwa zakat semestinya dikelola oleh negara,
yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakatnya.
Namun, upaya
sentralisasi pengelolaan zakat nasional saat ini, mengalami kendala besar.
Setidaknya ada beberapa faktor yang mungkin menjadi kontra produktif terhadap
wacana sentralisasi tersebut, yakni: Pertama, konsep peleburan dari lembaga
pengelola zakat (LPZ) swasta yang belum jelas. Diakui bersama, bahwa keberadaan
LPZ sangat signifikan dalam perkembangan zakat nasional. Ketidakjelasan konsep
peleburan LPZ dalam agenda sentralisasi pengelolaan zakat, dikhawatirkan akan
membawa kemunduran pengelolaan zakat nasional. Kedua, pemerintah belum memiliki
grand design pengelolaan zakat nasional yang terpadu. Keinginan sentralisasi
pengelolaan zakat, lebih ditujukan untuk menertibkan keberadaan LPZ. Sementara
itu, belum ada agenda yang jelas terkait rancang bangun pengelolaan zakat
pasca-sentralisasi ini. Ketiga, sentralisasi pengelolaan zakat tanpa mengubah
konsep pengelolaan zakat dari voluntaristik menjadi obligatori, dirasakan tidak
akan berdampak signifikan terhadap pengelolaan zakat nasional. Pengelolaan
terpusat tanpa adanya kekuatan hukum yang mengikat, dirasakan hanya akan
memandulkan produktifitas dari pengelolaan zakat nasional.
Ketiga faktor tersebut
tampak penting dalam mempertimbangkan wacana sentralisasi pengelolaan zakat
yang tengah gencar dihembuskan oleh pemerintah, terutama departemen agama
sebagai pihak yang merasa paling berwenang dalam pengelolaan zakat nasional.
selayaknya berkaca dari pengelolaan wakaf yang tersentralkan, tanpa adanya
konsep pengelolaan yang jelas, yang membuat wakaf tidak berdaya. Karenanya,
geliat pengelolaan zakat yang dirasakan sudah cukup semarak, jangan sampai mati
begitu saja karena semangat sentralisasi tanpa adanya konsep pemberdayaan
pengelolaan zakat yang terpadu. Bukan tidak mungkin isu reformasi zakat
nasional melalui wacana sentralisasi ini, justru menjadi gerakan deformasi yang
justru menghancurkan aktifisme pengelolaan zakat yang sudah sedemikian
berkembang[13].
IV.b Pengelolaan Zakat Pasca
UU Nomor 23 tahun 2011[14]
DPR telah mengesahkan RUU
Pengelolaan Zakat menjadi UU pada rapat paripurna 27 Oktober 2011. RUU Zakat
yang diperjuangkan sejak DPR periode 2004-2009 dan naskah-nya telah selesai
dibuat DPR sejak tahun 2010 sedangkan draft pemerintah baru masuk pada April
2011, ternyata pembahasannya berjalan relatif singkat. Pembahasan RUU Zakat
selesai di bulan September 2011, hanya sekitar 3 bulan saja.
UU No. 23 Tahun 2011 yang merupakan amandemen terhadap UU No. 38
Tahun 1999 ini, menjadi kebijakan pemerintah yang paling penting dan signifikan
bagi dunia zakat nasional ke depan, bahkan bisa berdampak hingga 1-2 dekade ke
depan.
Pokok-Pokok Pemikiran UU Nomor 23 tahun 2011
·
Sentralisasi
pengelolaan zakat nasional oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang
melaksanakan fungsi perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, pelaporan dan pertanggungjawaban, dimana
BAZNAS adalah lembaga pemerintah nonstruktural yang mandiri dan
bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama;
·
Pengelolaan
zakat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan oleh BAZNAS provinsi dan
BAZNAS kabupaten/kota;
·
BAZNAS,
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ;
·
Masyarakat
dapat mendirikan LAZ untuk membantu BAZNAS;
·
LAZ
wajib mendapat izin Menteri Agama dengan syarat: (a) terdaftar sebagai ormas
Islam; (b) berbadan hukum; (c) mendapat rekomendasi BAZNAS; (d) memiliki pengawas
syariah, (e) memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan; (f)
bersifat nirlaba; (g) memiliki program pendayagunaan zakat; dan (h) bersedia
di-audit syariah dan keuangan secara berkala;
·
Amil
Zakat yang beroperasi tanpa izin dipidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau
denda maksimal Rp 50 juta.
·
BAZNAS
dibiayai APBN dan hak amil, BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai
APBD, hak amil dan APBN, dan LAZ dibiayai hak amil;
·
Menteri
Agama melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS
provinsi, BAZNAS kabupaten/kota dan LAZ, dan dapat memberikan sanksi
administratif atas pelanggaran berupa peringatan tertulis, pembekuan operasi
hingga pencabutan izin.
·
LAZ
yang telah dikukuhkan Menteri Agama sebelum UU berlaku tetap diakui dan wajib
menyesuaikan diri dengan UU baru paling lambat 5 tahun.
IV.c Permasalahan dan Solusi
Menurut Pakar
Dalam penelitian yang dilakukan melalui wawancara kepada para
pakar, penulis berhasil merumuskannya dalam tabel berikut:
Tabel permasalahan dan solusi model hubungan BAZNAS dengan LAZ
dalam realisasi sentralisasi zakat refleksi UU No 23 tahun 2011(Bapak Ali
Sakti)
Tabel 1. Permasalahan
No
|
Lembaga
|
Sistem
|
SDI/Keanggotaan
|
1
|
Posisi Baznas sebabagi pusat sentralisasi (Regulator dan
operator)
|
Sistem birokrasi yang ribet dan ruwet
|
Profesionalisme perlu ditinjau ulang
|
2
|
UPZ yang legal yang diperbolehkan menghimpun dan yang lain
dilarang
|
Koordinasi dalam penyaluran
|
Minimnya tenaga ahli
|
3
|
UPZ diharuskan membentuk ormas
|
Manajemen muzakki
|
Tabel 2. Solusi
No
|
Lembaga
|
Sistem
|
SDI
|
1
|
Baznas bersifat regulator dan pengawas
|
Sistem yang transparan akuntanbel dan amanah
|
Menyediakan sekolah semacam STAN yang memang diperuntukan menjadi
amil
|
2
|
Baznas menjadi departemen tersendiri
|
Pengelolaan yang profesional
|
Totalitas dalam pengamdian untuk ummat dan agama
|
3
|
Baznas manjadi lembaga ekonomi bukan agama
|
NPWZ sebagai single identity number
|
Tabel permasalahan dan solusi model hubungan baz dengan laz dalam
realisasi sentralisasi zakat refleksi UU No 23 tahun 2011 (IMZ)
Tabel 1. Permasalahan
No
|
Lembaga
|
Sistem
|
SDI/Keanggotaan
|
1
|
Posisi Baznas sebabagi pusat sentralisasi (Regulator dan
operator)
|
Sistem birokrasi yang ribet dan ruwet
|
Profesionalisme perlu ditinjau ulang
|
2
|
UPZ yang legal yang diperbolehkan menghimpun dan yang lain
dilarang
|
Koordinasi dalam penyaluran yang masih belum kondusif
|
Minimnya tenaga ahli
|
3
|
UPZ diharuskan membentuk ormas
|
Tabel 2. Solusi
No
|
Lembaga
|
Sistem
|
SDI
|
1
|
Tertata sistematis tanpa adanya intervensi
|
Perbaikan sistem birokrasi yang mudah dan cepat tanggap
|
Menyiapkan amil yang handal
|
2
|
UU No 23 tahun 2011 lebih baik ketimbang UU No 38 tahun 1999
|
NPWZ sebagai single identity number
|
Sosialisasi dan penyuluhan yang gencar
|
3
|
Upaya perbaikan dalam posisi zakat pada kancah ekonomi Indonesia
|
||
4
|
UPZ diberi kebebasan sebagai bentuk penyelenggaraan ummat dalam
menunaikan zakat
|
Tabel permasalahan dan solusi model hubungan baz dengan laz dalam
realisasi sentralisasi zakat refleksi UU No 23 tahun 2011 (Bapak Hendri
Tanjdung)
Tabel 1. Permasalahan
No
|
Lembaga
|
Sistem
|
SDI/Keanggotaan
|
1
|
Posisi Baznas sebabagi pusat sentralisasi (Regulator dan
operator)
|
Sistem birokrasi yang ribet dan ruwet
|
Profesionalisme perlu ditinjau ulang
|
2
|
UPZ yang legal yang diperbolehkan menghimpun dan yang lain
dilarang
|
Koordinasi dalam penyaluran yang masih belum kondusif
|
Minimnya tenaga ahli
|
3
|
UPZ diharuskan membentuk ormas
|
||
4
|
Posisi muzakki adalah zakat yang diambil bukan mengambil
|
||
5
|
Supermasi hukum yang masih lemah terhadap para pelanggar hukum
|
Tabel 2. Solusi
No
|
Lembaga
|
Sistem
|
SDI
|
1
|
BAZNAS sebagai regulator, BAZDA dan UPZ sebagai operator
|
Perbaikan sistem birokrasi yang mudah dan cepat tanggap
|
Sumberdaya yang memiliki sifat dan jiwa juang
|
2
|
UU No 23 tahun 2011 lebih baik ketimbang UU No 38 tahun 1999
|
Zakat sebagai pengurang pajak
|
Mendapat upah gaji yang sesuai dengan UMR namun terbatas pada 1/8
dari nominal zakat yang terkumpul
|
3
|
Upaya perbaikan dalam posisi zakat pada kancah ekonomi Indonesia
|
NPWZ sebagai single identity number
|
|
4
|
UPZ diberi kebebasan sebagai bentuk penyelenggaraan ummat dalam
menunaikan zakat
|
Sistem pelaporan yang akuntanbel, transparan, dan amanah
|
IV.d Alternatif Posisi BAZNAS[15]
Jika BAZNAS memilih kebijakan tidak operasional menghimpun dan
mengelola zakat, maka terdapat beberapa alternatif untuk penataan posisi
kelembagaan. Alternatif tersebut tidak hanya menyangkut BAZNAS ansich,
melainkan mengait persoalan yang lebih besar, yakni Sistem Pengelolaan Zakat
dan Wakaf. Dalam pengelolaan zakat di Indonesia, sukses dan tidaknya tidak lagi
bergantung pada inisiatif masing-masing BAZ dan LAZ. Tetapi dikondisikan dalam
sebuah sistem yang jelas, terarah dan terukur hingga pengelolaan zakat
sungguh-sungguh bisa terpadu. Urutan alternatif berikut ini mengandung derajat
ketinggian kelembagaan. Bila urutan pertama tak memungkinkan, urutan berikut
menjadi pertimbangan alternatif pengganti. Demikian seterusnya dengan urutan
alternatifnya adalah sebagai berikut:
1.
Kementrian Zakat dan Wakaf (Kezwa)
Negara Indonesia memang sekuler. Namun, untuk mengurusi agama,
pemerintah tetap memiliki Depag. Dengan pertimbangan tersebut, menjadi mungkin
pemerintah juga membentuk lembaga khusus, yakni Kementerian Zakat dan Wakaf
(Kezwa). Lembaga ini tentunya dipimpin oleh seorang menteri. Agar tidak
memberatkan beban negara, Kezwa dapat kementerian non-departemen. Dengan wujud
departemen yang dipimpin oleh seorang menteri, pengelolaan zakat dapat mandiri,
full power dan memiliki kebijakan untuk bangsa Indonesia.
2.
Badan Perencanaan dan Pengembangan Zakat dan Wakaf (Bappezwa)
Jika pembentukan kementerian tidak memungkinkan, pemerintah dapat
membentuk Badan Perencanaan dan Pengembangan Zakat dan Wakaf (Bappezwa).
Kedudukan Bappezwa langsung berada di bawah koordinasi Presiden RI. Atau dapat
juga di bawah Wakil Presiden RI. Peran dan fungsi Bappezwa, sama seperti halnya
Bappenas. Dalam operasinya, Bappezwa berkoordinasi dengan seluruh BAZ dan LAZ.
3.
Badan Regulator Zakat dan Wakaf (Barezwa)
Bila kondisi tersebut masih memiliki banyak problem hingga sulit
untuk direalisasikan, pemerintah dapat membentuk Badan Regulator Zakat dan
Wakaf (Barezwa). Kedudukan Barezwa sama seperti Bappezwa, yakni berada di bawah
pengawasan Presiden RI atau Wakil Presiden RI. Dalam operasional kerja, Barezwa
memerankan diri seperti Bank Indonesia (BI).
Dengan kedudukan yang independen, Barezwa memformat ulang penataan
zakat dan wakaf di Indonesia. Barezwa bukan hanya membuat Kapezwi, melainkan
juga membenahi seluruh BAZ dan LAZ. Dengan wewenang dan otoritasnya, Bareza
berhak mem-fit and propper test kembali para amil. Termasuk dalam
wewenang itu adalah membenahi BAZ dan LAZ, mana yang masih layak dan mana yang
harus dirombak total. Dengan peran ini, Barezwa membuat kebijakan, regulasi,
mengawasi dan menjadi wasit bagi seluruh BAZ dan LAZ yang ada. Satu peran lagi
yang diemban Barezwa adalah mendorong BAZ dan LAZ menjadi sehat, agar dapat
berkiprah maksimal dalam menanggulangi kemiskinan.
Dala prakteknya, BI membagi dunia perbankan berdasarkan pemilikan.
Bank-bank negara seperti BRI, BNI dan Bank Mandiri dimiliki pemerintah,
sedangkan bank swasta seperti BCA, BII dan BMI dimiliki masyarakat. Pemilihan
tersebut dapat dijadikan landasan bagi Barezwa dalam menempatkan BAZ dan LAZ.
BAZ merupakan lembaga yang dikelola pemerintah, LAZ lembaga yang dikelola
masyarakat. Perlu ditegaskan, hal tersebut hanya sebatas pengelolaan dan bukan
pemilikan. Ini perbedaan mendasar antara bank dan lembaga zakat. Motivasi
pendirian bank untuk mencari laba, maka bank memiliki shareholder,
sedangkan tujuan lembaga zakat ialah memberdayakan mustahik, maka lembaga ini
dimiliki masyarakat khususnya stakeholder.
4.
Direktorat Jenderal Zakat dan Wakaf (Dirjen Ziswa)
Alternatif terakhir BAZNAS dijadikan sebuah direktorat khusus,
yakni Direktorat Jenderal Zakat dan Wakaf (Dirjen Ziswa). Kedudukan Dirjen
Ziswa di bawah seorang menteri. Penempatan Dirjen Ziswa tidak harus di Depag. Karena
mengelola keuangan, Dirjen Ziswa dapat ditempatkan di Depkeu. Kedudukan Dirjen
Ziswa sejajar dengan Dirjen Pajak.
Dalam operasionalnya, seluruh fasilitas Dirjen Pajak dapat
digunakan oleh Dirjen Ziswa. Dalam segi cost, hal ini merupakan kerja yang paling
efisien dan efektif. Dalam berhubungan dengan BAZ dan LAZ, seluruh LPZ tersebut
hanya menjadi UPZ (Unit Penghimpun Zakat). Status BAZ dan LAZ dilebur menjadi
bagian dari Dirjen Ziswa. Dalam penyaluran dan pendayagunaannya, bekerjasama
dengan seluruh pemimpin pemerintah daerah.
Untuk alokasi pemanfaatannya, dapat mempertimbangkan beberapa hal
berikut:
-
Sesuai
dengan dana yang terhimpun di daerah tersebut;
-
Tergantung
pada program yang diajukan;
-
Tergantung
pada total jumlah dana terhimpun untuk didistribusikan ke seluruh Indonesia.
Dari keempat alternatif tersebut, seluruh BAZ dan LAZ dapat
berperan dan berfungsi seperti halnya sekarang berjalan. Atau, peran dan
fungsinya dikurangi hanya sebata UPZ saja. Kedua model ini amat tergantung pada
kejelian tim yang merumuskan kebijakan pengelolaan zakat. Dalam hal membahas
keseluruhan alternatif, dapat dilakukan jika pemerintah memang
bersungguh-sungguh mengelola zakat dan wakaf. Jika tidak, maka biarkan BAZNAS,
BAZ dan LAZ berjalan seperti halnya sekarang. Meski terjadi beberapa benturan,
pada kahirnya akan menemukan titik temu sendiri. Pengelolaan zakat pasti akan
menjumpai logikanya sendiri. Disamping itu, sesama LPZ harus bisa menempatkan
diri saat terjadi gesekan dan benturan di lapangan, karena sifat LPZ ynag lebih
dekat kepada tuntutan Islam bukan politik.
V KESIMPULAN
V.a Kesimpulan
Dari pemaparan dan pembahasan di atas, terdapat beberapa hal yang
dapat disimpulkan, diantarnya adalah sebagai berikut:
1)
Pokok
permasalahan dalam realisasi sentralisasi zakat refleksi UU Nomor 23 tahun 2011
adalah posisi BAZNAS yang bertindak sebagai regulator namun juga operator;
2)
Sistem
yang ada dalam kancah pengelolaan zakat di Indonesia adalah bidang agama saja
yang pada aspeknya tidak sekedar agama namun juga bidang ekonomi;
3)
Dalam
memaksimalkan potensi zakat dan muzakki sangat relevan dengan diadakannya NPWZ
(Nomor Poko Wajib Zakat) sebagai single identity number oleh muzakki;
4)
Guna
menyediakan tenaga ahli dan kompetensi, perlu diadakanya lembaga pendidikan
khusus zakat sejenis dengan STAN yang nantinya diperuntukkan untuk menjadi amil
zakat’
5)
Upaya
realisasi zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan
mustahik adalah dengan menjadikan zakat sebagai instrumen kebijakan publik.
V.b Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat penulis tuturkan adalah bahwa, posisi BAZNAS
diantara BAZ dan LAZ haruslah tegas, independen, dan transparan serta amanah.
Fokus BAZNAS selayakanya adalah sebagai regulator dan bukan operator, hali ini
bertujuan untuk mewujudkan suatu sistem yang terkoordinir, rapi, serta
bersinergi. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah harus turut mendorong posisi
BAZNAS sebagai unit lembaga publik yang operasionalnya hanya sebatas pada
pengawasan, peraturan dan perlindungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiman, Moc.
Arif. Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelolaan Zakat di Indonesia:
Perspektif Legalisasi. Jurnal Intekna, Vol. VI No. 1 Mei 2006
Fakhruddin. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang:
UIN-Malang Press. 2008
Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern.
Jakarta: Gema Insani. 2002
________________.
Anda Bertanya tentang Zakat, Infak, dan Sedekah Kami Menjawab. Jakarta:
BAZNAS. 2005
Hafidhuddin,
Didin, Ahmad Juwaini. Membangun Peradaban Zakat: Meniti Jalan Kegemilangan
Zakat. Jakarta: Intitut Manajemen Zakat. 2006
Hafidhuddin,
Didin, dkk. Problematika Zakat Kontemporer: Artikulasi Proses Sosial Politik
Bangsa. Jakarta: FOZ. 2003
Ibrahim, Yasin. Kitab Zakat: Hukum, Tata Cara dan Sejarah.
Bandung: Penerbit Marja. 2008
Inoed, H.
Amiruddin dkk. Anatomi Fiqh Zakata: Potret dan Pemahaman Badan amil Zakat
Sumatera Selatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005
Mahmudi. Penguatan
Tata Kelola dan Reposisi Kelembagaan Organisasi Pengelola Zakat. Jurnal
EKBISI, Vol. 4 No. 1 Desember 2009
Mufraini, M.
Arif. Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan. Jakarta: Kencana. 2006
Qardhawi,
Yussf. Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan. Jakarta:
Zikrul Hakim. 2005
Sudewo, Eri. Manajemen
Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar. Jakarta: Institut
Manajemen Zakat. 2004
Sudirman. Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas. Malang:
UIN-Malang Press. 2007
Sularno, M.
Pengelolaan Zakat Oleh Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/ Kota Se Daerah
Istimewa Yogyakarta: Studi Terhadap Implementasi Undang-Undang No. 38 Tahun
1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. IV No. 1
Juli 2010
Suroso. Manajemen Badan Amil Zakat Ifaq dan Shadaqah (BAZIS)
Dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Islam. Jurnal Fordema Vol. 7 No. 1 Juni
2007
Susetyo, Heru. Peran
Negara Dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan Praktek
Negara-Negara Tetangga. Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Vol. 1 Agustus 2008
[1] Mahasiswa STEI
Tazkia tingkat 3 Semester 5
[2] Suroso. Manajemen
Badan Amil Zakat Ifaq dan Shadaqah (BAZIS) Dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi
Islam. Jurnal Fordema Vol. 7 No. 1 Juni 2007. Hlm. 99
[3]Budiman, Moch.
Arif. Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelola Zakat di Indonesia:
Perspektif Legalisasi. Jurnal Intekna, Vol. VI No. 1 Mei 2006
[4] Majma’ lughah
al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Daar el-Ma’arif, 1972), Juz I hlm.
396.
[5] Majma’ lughah
al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Daar el-Ma’arif, 1972), Juz I hlm.
396.
[6] Ibrahim,
Yasin. Kitab Zakat: Hukum, Tata Cara dan Sejarah. Bandung: Penerbit
Marja. 2008. Hlm. 85-91
[7] Fakhruddin. Fiqh
dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang: UIN Malang Press. 2008. Hlm.
243-251
[8] Sularno, M. Pengelolaan
Zakat Oleh Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/ Kota Se Daerah Istimewa
Yogyakarta: Studi Terhadap Implementasi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat. Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. IV No. 1 Juli 2010.
Hlm 34-44
[9] Susetyo, Heru.
Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat: Perspektif Negara Kesejahteraan dan
Praktek Negara-Negara Tetangga. Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Vol. 1
Agustus 2008.
[10] Budiman, Moch.
Arif. Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelola Zakat di Indonesia:
Perspektif Legalisasi. Jurnal Intekna, Vol. VI No. 1, Mei 2006
[11] Mahmudi. Penguatan
Tata Kelola dan Reposisi Kelembagaan Organisasi Pengelola Zakat. Jurnal
EKBISI, Vol. 4 No. 1 Desember 2009. Hlm. 69-84
[12] Roundtable Discussion Membaca UU Pengelolaan Zakat dalam Multi-Perspektif:
Konstitusi, Ekonomi, Sosiologis, dan Sejarah Bangsa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 22 November 2011
[13] Fakhruddin. Fiqh
dan Manajemen Zakat di Indonesia. Malang: UIN Malang Press. 2008. Hlm.
248-251
[14] Wibisono, Yusuf. Masa Depan Pengelolaan Zakat Nasional Pasca
UU No. 23 Tahun 2011. Makalah disampaikan
pada Public Expose “ Indonesia Zakat and Development Report 2012” diselenggarakan oleh IMZ Jakarta, 30 Januari 2012
[15] Sudewo, Eri. Manajemen
Zakat: Tinggalkan 15 Tradisi Terapkan 4 Prinsip Dasar. Jakarta: Institut
Manajemen Zakat. 2004. Hlm. 277-280
No comments:
Post a Comment